Makalah Tentang Pengertian, Rukun, dan Dasar Hukum Hawalah


BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Dalam dewasa ini Banyak orang yang meremehkan hukum-hukum Islam, yang menurutnya itu hal yang remeh, dalam prakteknya banyak sekali orang yang tidak mengerti tentang hukum-hukum Islam, yang lebih memperihatinkan lagi banyak calon guru maupu guru agama yang kurang begitu paham akan hukum-hukum Islam. Karena guru memberikan peranan yang penting dalam dunia pendidikan Islam, oleh karena dalam pendidikan seorang guru harus memberikan pemahaman secara komprehensif  berasaskan Al Qur’an dan Al hadits,  agar anak didik dapat memahami dan dapat mengamalkan apa yang telah mereka dapatkan. Oleh sebab itu kami akan membahasa hukum Islam yang berkenaan dengan fiqih muamalah yang akan membahasa tentang Hawalah, yang meliputi Pengertian, Syarat, Rukun, Landasan Hukum, Macam-Macam Hawalah, dan hal-hal Yang mebatalkan Akad Hawalah.
B.       Rumusan Masalah
1.     Apa Pengertian Hawalah ?
2.      Apa Saja Syarat, Rukun, Macam-Macam dan Dasar Hukum Hawalah ?
3.      Apa Saja yang Menyebabkan Berakhirnya Akad Hawalah ?

C.      Tujuan Pembahasan
1.         Untuk mengetahui pengertian Hawalah
2.         Untuk Mengetahui Syarat Rukun Macam-Macam dan Landasan Hukum Hawalah
3.         Untuk Mengetahui Berakhirnya Akad Hawalah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hawalah
Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al hawalah didefinisikan dengan: Pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang membayar hutang (al Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al muhtal alaih)[1][1].
-          Menurut Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hawalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
Artinya: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”[2][2].
-          Menurut Idris Ahmad, Hawalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
-          Sedangkan menurut Fuqaha bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu muamalah yang memandang persetujuan dari kedua belah pihak.[3][3]

B.     Ketentuan Hawalah
1.      Dasar Hukum Hiwalah
Hawalah sebagai salah satu bentuk transaksi antar sesama manusia dibenarkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda beliau:
مطل الغنى ضلم واذا اتبع احدكم على ملى فا ليتبع ( رواه ا لجما عة)
Artinya: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan dholim jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaknya ia berani (H.R al Jama’ah).
Disamping itu terdapat kesepakan oleh ulama’ (ijma’) mengatakan bahwa tindakan hawalah boleh dilakukan.

2.      Macam-macam Hawalah
Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, hawalah dapat dibagi dua:
a.    Hawalah al Haqq: ialah Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang.
b.    Hawalah Ad-dain: Yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban membayar hutang.
Dari sisi lain hiwalah terbagi menjadi dua:
a.    Al Hawalah al Muqoyyadah: (Pemindahan bersyarat ) yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
b.    Al Hawalah al Muthlaqah: (Pemindahan mutlak) yaitu pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagsi ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.[4][4]

3.      Rukun Hawalah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah
a.    Ijab (peryataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama.
b.    Qabul (peryataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan ketiga.
Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah, syafiinya dan hanabilah, rukun hawalah ada 6 yaitu:
a.    Pihak pertama
b.    Pihak kedua
c.    Pihak ketiga
d.   Utang pihak pertama kepada pihak kedua
e.    Utang pihak ketiga kepada pihak pertama
f.     Shigat (peryataan hiwalah)[5][5]

4.      Syarat-Syarat Hawalah
Para ulama fiqih dari kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa  hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya syarat-syarat yang berkaitan  dengan pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu sendiri,
syarat-syarat pihak pertama yaitu:
a.    Baliq dan berakal
b.    Ada peryataan persetujuan
Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
a.    Baliq dan berakal
b.    Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah, atas pertimbangan kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda.
Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
a.    Baliq dan berakal
b.    Menuru hanafi mensyaratkan Adanya peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab lainya tidak mensyaratkan hal itu.[6][6]
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap al Muhalbih,
a.    Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
b.    Apabila penggalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
c.    Ulama dari madzhab syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya.

C.    Berakhirnya Akad Hawalah
1.      Salah situ pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatal­kan) akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran   utang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.Pihak ketiga melunasi utang yang diahhkan itu kepada pihak kedua.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
2.      Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
3.      Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya untuk mem­bayar utang yang dialihkan itu.
4.      Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu: pihak ketiga mengalami mullis (muflis, bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau, dalam keadaan tidak ada bukti otentik tenting akad hawalah,



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a.       Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al hawalah didefinisikan dengan Pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang membayar hutang (al Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al muhtal alaih)
b.      Para ulama fiqih dari kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa  hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya syarat-syarat yang berkaitan  dengan pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu sendiri, dan Rukun Hawalah Ialah: 1). Ijab (peryataan melakukan hawalah) dari pihak pertama  2). Qabul (peryataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan ketiga. Sedangkan  Macam-macam Hawalah yang ditinjau dari segi Obyek Aka dada 2: 1).  Hawalah al Haqq 2). Hawalah Ad-dain. Sedangkan hawalah di tinjau dari sisi lain ada 2: 1). Hawalah al Muqoyyadah, 2). Hawalah al Muthlaqah.
c.       Salah satu hal yang mebatalkan Hawalah Ialah: Salah situ pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatal­kan) akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran   utang kepada pihak pertama









DAFATAR PUSTAKA

Haroen Nasrun, 2007, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama
Rasjid Sulaiman. 2009, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo



[7][1] Nasrun haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama 2007. Hal 221
[9][3] Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid" Kitab Al-Hiwalah, Jakarta : Pustaka Amani, 2002.
[11][5] Ibnu Qudama, al mughi jilid IV, hlm 530
[12][6] Nasrun haroen, op. cit., Hal 225















Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Tentang Pengertian, Rukun, dan Dasar Hukum Hawalah"

Post a Comment

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah