Konstitusi dan Perundang-undangan Indonesia

1.1    Konstitusi
1.1.1    Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu “Constitution” dan berasal dari bahasa belanda “constitue” dalam bahasa latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu “constiture” dalam bahsa jerman “vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan Undang – undang dasar. Konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat suatu negara.
Pengertian Konstitusi Menurut Beberapa Ahli
1.    K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang mmbentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
2.    Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada uud. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tettapi juga sosiologis dan politis
3.    Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
4.    Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:
a.    Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian yaitu:
1)    Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada didalam negara.
2)    Konstitusi sebagai bentuk Negara
3)    Konstitusi sebagai faktor integrasi
4)    Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi didalam Negara
b.    Konstitusi dalam artoi relatif dibagi menjadi 2 pengertian yaitu:
1)    Konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa.
2)    Konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa terttulis) dan konstitusi dalam arti materiil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya)
Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara, biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.


1.1.2    Tujuan Konstitusi
Tujuan konstitusi yaitu:
a.    Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak.
b.    Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
c.    Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
1.1.3    Nilai Konstitusi
Nilai konstitusi yaitu:
a.    Nilai normatif adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efgektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
b.    Nilai nominal adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetrapi tidak sempurna. Ketidak sempurnaan itu disebabkan pasal-pasal tertentu tidak berlaku/tidak seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara.
c.    Nilai semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
1.2    Kedudukan Konstitusi
Konstitusi adalah suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari organisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di daerah tertentu, serikat buruh, organisasi-organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi bisnis, perkumpulan sosial sampai ke organisasi tingkat dunia seperti misalnya Perkumpulan ASEAN, European Communities (EC), World Trade Organization (WTO), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semuanya membutuhkan dokumen dasar yang disebut konstitusi.
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut: “a body of laws, customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.”
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewnangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Hal itu dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Dalam hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD,secara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan menambahkan naskah perubahan Undang-Undang Dasar secara terpsah dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preambule) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sistem perwakilan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemudian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.
Dalam hubungan dengan pengertian constituent power tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap sebagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Seperti dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis merupakan :
“The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way”.
Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah maka Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung .
Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
1.3    Perubahan UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002 . Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
1.4    Negara Hukum Yang Demokratis
Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD 1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat) .
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Plato, dalam bukunya “the Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial.
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum.
Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures.
Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi.
Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus menjadi dasar dan dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu saja berpengaruh terhadap sistem dan materi peraturan perundang-undangan yang telah ada. Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap jenis peraturan perundangan-undangan serta materi muatannya. Adanya perubahan UUD 1945 tentu menghendaki adanya perubahan sistem peraturan perundang-undangan, serta penyesuaian materi muatan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku.
Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi , konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal . Pembukaan dan pasal-pasal adalah satu kesatuan norma-norma konstitusi yang supreme dalam tata hukum nasional (national legal order).
Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri di atas lima dasar yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.
Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD 1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33. Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan bermasyarakat terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 27 dan Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang Pendidikan Dan Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.
1.5    Budaya Sadar Berkonstitusi
Kita tentunya menghendaki agar UUD 1945 merupakan konstitusi yang benar-benar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya cita-cita bersama. Kontitusi mengikat segenap lembaga negara dan seluruh warga negara. Oleh karena itu, yang menjadi pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam perspektif hukum, kata “pelaksanaan” (implementation) terdiri dari dua konsep fungsional, yaitu; pertama, identifying constitutional norms and specifying their meaning; dan kedua, crafting doctrine or developing standards of review.
Agar setiap lembaga dan segenap warga negara dapat melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945, diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma dasar yang menjadi materi muatan konstitusi. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk dapat selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jika masyarakat telah memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pasti mengetahui dan dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh terhadap pelaksanaan UUD 1945 baik melalui pelaksanaan hak dankewajibannya sebagai warga negara, berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta dapat pula melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan jalannya pemerintahan. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan konstitusi.
Salah satu bentuk nyata pentingnya budaya sadar berkonstitusi bagi pelaksanaan konstitusi adalah terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian tersebut dilakukan untuk menentukan apakah suatu ketentuan dalam suatu undang-undang, bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Namun Mahkamah Konstitusi dalam hal ini tidak dapat bertindak secara aktif. Mahkamah Konstitusi hanya dapat menjalankan wewenang tersebut jika ada permohonan pengujian suatu undang-undang yang diajukan oleh masyarakat.
Dalam pengajuan permohonan inilah diperlukan adanya budaya sadar berkonstitusi berupa kesadaran akan hak konstitusionalnya sebagai warga negara baik sebagai perorangan maupun kelompok bahwa hak-hak konstitusional telah dilanggar oleh suatu ketentuan undang-undang. Di sisi lain, juga diperlukan adanya kesadaran untuk mendapatkan perlindungan atas hak konstitusional yang dilanggar dengan cara mengajukan permohonan pengujian konstitusional atas ketentuan undang-undang yang merugikannya. Jika tidak ada budaya sadar berkonstitusi, masyarakat tidak akan mengetahui apakah haknya terlanggar atau tidak dan tidak melakukan upaya konstitusional untuk mendapatkan perlindungan. Akibatnya, UUD 1945 akan banyak dilanggar oleh ketentuan undang-undang sehingga pada akhirnya konstitusi hanya akan menjadi dokumen di atas kertas tanpa dilaksanakan dalam praktik.
Di sisi lain, dalam budaya berkonstitusi juga terkandung maksud ketaatan kepada aturan hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Segenap komponen bangsa harus bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan, serta apabila timbul permasalahan atau sengketa, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Budaya mematuhi aturan hukum merupakan salah satu ciri utama masyarakat beradab. Hal ini sangat diperlukan terutama dalam konteks politik, misalnya dalam pelaksanaan Pemilu, baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilukada.
Tanpa adanya kesadaran berkonstitusi, yaitu kedasaran mematuhi rambu-rambu permainan dan mekanisme penyelesaian sengketa, momentum politik yang sejatinya adalah untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dapat tergelincir ke dalam konflik yang justru merugikan masyarakat serta kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran baik bagi untuk peserta pemilu, penyelenggara pemilu, maupun pihak dan lembaga lain yang memiliki peran dalam pelaksanaan Pemilu. Semua permasalahan yang muncul harus dipercayakan dan diselesaikan melalui mekanisme hukum yang telah ditentukan. Sebaliknya, lembaga yang memiliki kewenangan terkait dengan pelaksanaan pemilu juga harus menjalankan wewenangnya dengan baik.
Oleh karena itulah harus ada upaya secara terus-menerus untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Budaya sadar berkonstitusi tercipta tidak hanya sekedar mengetahui norma dasar dalam konstitusi. Lebih dari itu, juga dibutuhkan pengalaman nyata untuk melihat dan menerapkan konstitusi dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi adalah suatu proses panjang dan berkelanjutan.
Setiap warga negara dan penyelenggara negara harus mempelajari dan memahami UUD 1945 melalui berbagai cara dan berbagai media. Untuk itu informasi tentang konstitusi harus tersedia agar mudah diakses dengan cepat dan mudah pula dipahami. Oleh karena itu, peningkatan budaya sadar berkonstitusi tidak hanya dilakukan melalui forum tatap muka, tetapi melalui berbagai bentuk kemasan dan media yang berbeda-beda.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya mendekatkan UUD 1945 sebagai konstitusi kita kepada masyarakat umum serta menumbuhkan the living contitution adalah karena pembahasan masalah konstitusi dan materi muatan yang terkandung di dalamnya selalu menggunakan kerangka pikir, rujukan teori, dan rujukan praktik yang berasal dari luar negeri. Untuk itu, diperlukan upaya domestikasi UUD 1945, yaitu menjadikan UUD 1945 dan pengkajiannya dilakukan dengan merujuk pada pengalaman bangsa Indonesia dan problem nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Pengkajian sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama ini masih terbatas mulai penjajahan Belanda. Padahal, sebelumnya terdapat kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara yang memiliki sistem dan struktur ketatanegaraan tersendiri yang dapat dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan modern. Sebagai contoh, pembagian fungsi kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah terbentuk walaupun kekuasaan Raja cukup dominan karena menjadi ketua dari semua lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan tersebut. Bahkan prinsip demokrasi juga mulai terlihat karena pengambilan keputusan diambil secara musyawarah oleh wakil-wakil masyarakat, meskipun keputusan terakhir tetap ada pada pimpinan tertinggi. Kenyataan-kenyataan sejarah tersebut dapat dijumpai di kerajaan dan satuan pemerintahan lain di berbagai wilayah nusantara.
Dengan elaborasi pengalaman bangsa Indonesia sendiri dan dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam UUD 1945, maka masyarakat akan merasakan bahwa sistem dan pemikiran yang menjadi materi muatan UUD 1945 bukan lagi sebagai hal yang asing, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Jika hal ini diiringi dengan upaya mendekatkan UUD 1945 dengan masyarakat, misalnya melalui penulisannya dalam bahasa dan huruf daerah, masyarakat dapat menjadikan UUD 1945 benar-benar sebagai landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat akan dapat mensikapi masalah yang dihadapi berdasarkan norma-norma konstitusional. Hal ini menjadi awal dari berkembangnya kehidupan dan pemikiran konstitusional sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat (the living constitution).
1.6    Pentingnya Konstitusi Dalam Suatu Negara
Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagiseluruh warga Negara. Dalam lintasan sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada Negara yang tidak memiliki konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi sebagai suatu perngkat negera. Konstitusi dan Negara ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa konstitusi merupakan sekumpulan aturan yang mengatur organisasi Negara, serta hubungan antara Negara dan warga Negara sehingga saling menyesuaikan diri dan saling bekerja sama. Dr.A. Hamid S Attamini menegaskan bahwa konstitusi atau Undang-undang Dasar merupakan suatu hal yang sngat penting sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus dipakai sebagai pegangan dalam mengatur bagaimana kekuasaan Negara harus dijalankan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa hakikat konstitusi merupakn perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitualisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga Negara maupun setiap penduduk di pihak lain.
Sejalan dengan perlunya konstitusi sebagai instruman untuk membatasi kekuasaan dalam suatu Negara, Miriam Budiarjo mengatakan “Di dalam Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasan pemerintah sedemikain rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenag. Denagn demikian diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi.”
Dalam konteks pentingnya konstitusi sebagai pemberi batas kekuasaan tersebut, Kusnardi menjelaskan bahwa konstitusi dilihat dari fungsinya terbagi ke dalam dua bagian, yaitu membagi kekuasaan dalam Negara dan membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa bagi mereka yang memandang Negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai organisasi kekuasaan, maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi diantara beberapa lembaga kenegaraan, seperti antara lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif.
Selain sebagai pembatas kekuasaan, konstitusi juga digunakan sebagai alat untuk menjamin hak-hak warga negarqa. Hak-hk tersebut mencakup hak-hak asas, seperti hak untuk hidup, kesejahteraan hidup dan hak kebebasan.Mengingat pentingnya konstitusi dalam suatu Negara ini,Struycken dalam bukunya “Het Staatsreet van Het Koninkrijk der Nederlander” menyatakan bahwa Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan dokuman formal yang berisikan:
a.    Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau
b.    Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c.    Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untuk waktu yang akan dating
d.    Suatu keinginan, di mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Keempat materi yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang tersebut, menunjukkan arti pentingnya suatu konstitusi yang menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa, serta memberikan arahan dan pedoman bagi penerus bangsa dalam menjalankan suatu Negara. Dan pada prinsipnya semua agenda penting kenegaraan, serta prinsip-prinsip dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, telah tercover dalam konstitusi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksistensi konstitusi dalam suatu Negara merupakan suatu keniscayaan, karena dengan adanya konstitusi akan tercipta pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan dalam menjalankan Negara. Selain itu, adanya konstitusi juga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menjamin hak-hak asasi warga Negara, sehingga tidak terjadi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari pemerintah.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Konstitusi dan Perundang-undangan Indonesia"

Post a Comment

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah