Makalah Tentang Mazhab Iqtishaduna, Menstrim dan Alternatif dan Tokoh Pemikirannya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
Dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam kontemporer dewasa ini, banyak tokoh bermunculan menawarkan gagasannya masing-masing dalam rangka menangani kebuntuan sistem ekonomi konvensional. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah hegemoni sistem kapitalisme maupun sistem sosialisme-komunisme.
Kelemahan dan kebobrokan sistem kapitalisme setidaknya telah terpampang dalam rentang sejarah kehidupan manusia melalui krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1866 dan 1890, 1929, 1985, 1987, 1998, dan 2000. Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, Anthony Gidden dalam bukunya The Thrid Way menyatakan dunia seyogyanya mencari jalan ketiga dari pergumulan sistem kakap dunia yakni kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga tersebut, terdapat dalam konsepsi Islam.
Oleh karena itu, dengan kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia untuk merubah ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan yang dalam hal ini tentu ekonomi Islam patut untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif dalam merealisasikan kesejahteraan manusia.
Dalam perkembangan ekonomi islam, ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi Islam itu, mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yang akan dijelaskan lebih rinci di dalam makalah ini.


1.2    Rumusan Masalah
Adapun beberapa pokok bahasan yang akan dikembangkan dalam makalah ini adalah:
1.    Bagaimana konsep pemikiran mazhab Iqtishaduna dan siapa tokoh pemikirnya?
2.    Bagaimana konsep pemikiran mazhab Menstrim dan siapa tokoh pemikirnya?
3.    Bagaimana konsep pemikiran mazhab Alternatif dan siapa tokoh pemikirnya?

1.3    Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui tokoh dan konsep pemikiran ketiga mazhab yaitu mazhab iqtishaduna, menstrim dan alternatif.
2.    Untuk memenuhi tugas perkuliahan, mata kuliah sejarah pemikiran ekonomi islam.


BAB II
PEMBAHASAN
Islam tidak melarang adanya perbedaan pandangan mengenai suatu masalah selain masalah akidah. Sebab perbedaan pandangan dalam Islam merupakan suatu rahmat. Demikian pula, perbedaan pandangan dalam hal pengertian dimensi ekonomi Islam bisa jadi berbeda dikalangan ahli ekonomi Islam. Karena masing-masing memiliki pandangan dan dasar hukum atau rasionalitas dalam memandang ekonomi Islam sebagai suatu disiplin Ilmu. Dalam tataran paradigma, ekonom-ekonom muslim tidak mengalami masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka dimainta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam, mulai muncul perbedaan pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom Muslim kontemporer dapat diklasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
2.1    Mazhab Iqtishaduna
Mazhab ini berpendapat bahwa ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Ada perbedaan dalam memandang masalah ekonomi (kelangkaan). Baqir menolak adanya kelangkaan. Dengan alasan, Allah menciptakan bumi, langit dan segala isinya adalah untuk manusia. Baqir menolak pandangan tidak terbatasnya keinginan manusia, karena ada marginal utility, law of diminishing returns. Masalah muncul karena distribusi yang tidak merata dan ketidak adilan.. Teori ekonomi seharusnya didesikasikan dari Al Qur’an. Salah satu tokoh mazhab adalah Muhammad Baqir as Sadr.
Biografi, Pemikiran dan Karyan Muhammad Baqir as Sadr
Muhammad Baqir As-Sadr berasal dari keluarga shi’tie yang dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1935 M/25 Dzul Qa’dah 1353 H di Baghdad. Buku Falsafatuna dan Iqtishaduna merupakan karya besar yang mengharumkan namanya di kalangan cendekiawan muslim. Dari karyanya dalam aspak kehidupan ekonomi, yakni Iqtishaduna melahirkan madzhab tersendiri. Menurut mazhab ini, ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Baginya ekonomi Islam hanyalah mazhab, bukan ilmu.
Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas. Mazhab Iqtishaduna menolak hal ini karena dalam Islam tidak pernah dikenal adanya sumber daya yang terbatas.
Sadr berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul dikarenakan oleh dua faktor. Pertama karena perilaku manusia yang melakukan kezaliman dan kedua karena mengingkari nikmat Allah SWT . Yang dimaksud zhalim di sini adalah proses kecurangan seperti penimbunan atau ikhtikar. Sedangkan yang dimaksud ingkar adalah manusia cenderung menafikan nikmat Allah dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan ekonomi bukan akibat dari keterbatasan alam dalam merespon setiap dinamika kebutuhan manusia.
Lebih jauh, mazhab ini berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Hubungan Milik
Kepemilikan pribadi dalam pandangan Sadr hanya terbatas pada hak memakai dan adanya prioritas untuk menggunakan serta hak untuk melarang orang lain untuk menggunakan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Dalam hal ini Sadr menganggap bahwa kepemilikan yang dimiliki manusia hanya bersifat sementara, sedangkan kepemilikan yang mutlak adalah milik Allah SWT.
Baqir As-Sadr memandang format kepemilikan bersama menjadi dua yakni: Kepemilikan publik dan Milik Negara.
Perbedaan antara kepemilikan publik dan Negara terletak pada tata cara pengelolaannya. Kepemilikan publik digunakan untuk seluruh kepentingan masyarakat. Misalnya rumah sakit, sekolah, dan sebagainya. Sedangkan kepemilikan negara dapat digunakan tidak hanya bagi kebaikan semua orang, melainkan dapat pula digunakan untuk suatu bagian dari masyarakat, jika negara memang menghendakinya. Misalnya ghanimah, jizyah, pajak, cukai, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dsb.
Peran Negara dalam Perekonomian
Negara memiliki kekuasaan sehingga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan bahwasannya keadilan berlaku. Di antaranya ialah fungsi-fungsi sebagai berikut:
a)    Distribusi sumber daya alam kepada individu yang berdasarkan pada keinginan dan kepastian untuk bekerja.
b)    Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah pada penggunaan sumber daya.
c)    Memastikan keseimbangan sosial.
Intinya, Negara harus memenuhi standar kehidupan masyarakat yang seimbang secara keseluruhan. Negara pun harus memberikan keamanan sosial serta memastikan keseimbangan sosial dan keamanan secara keseluruhan. Sehingga masyarakat percaya bahwa Negara yang menjalankan tugas sebagai pengatur keseimbangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Larangan Riba dan Perintah Zakat
Sadr tidak banyak membicarakan riba. Penafsirannya pada riba terbatas pada uang modal. Sedangkan mengenai zakat, ia memandang hal ini sebagai tugas Negara. Mengenai pemikiran ekonominya, ia memisahkan antara produksi dan distribusi sebagai pusat di dalam ekonomi. Menurutnya, produksi adalah suatu proses dinamis, mengubah dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan distribusi sebagai bagian dari sistem sosial, yaitu total hubungan antar sistem sosial yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya produksi.
Teori Produksi Islam
Sadr mengklasifikasi dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah dan kerja yang dilakukan dalam aktivitas produksi. Aspek ini berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai what, how, dan whom(The three fundamental economic problem).
Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktivitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi keadilan yang dianut.
Selain itu menurut Sadr sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam, modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang digunakan untuk produksi dibagi menjadi tanah, substansi-substansi primer, dan air.
Strategi pertumbuhan produksi
a.    Strategi doctrinal/ intelectual
Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja keras sebagai ibadah. Membiarkan sumber-sumber menganggur, tindakan mubazir, dan juga produksi barang haram merupakan hal yang dilarang di dalam Islam. Pemikiran inilah yang dikatakan sebagai landasan doktrinal dalam mewujudkan produksi.
b.    Strategi legislatif/ hukum
Untuk menjamin lancarnya strategi doktrinal tersebut, diperlukan aturan hukum, antara lain:
1.    Tanah yang menganggur dapat disita oleh negara untuk kemudian didistribusikan kepada orang yang mampu menggarapnya.
2.    Larangan memiliki tanah dengan jalan paksa
3.    Larangan kegiatan yang tidak memiliki semangat produktif.
4.    Pelarangan riba, ikhtikar, pemusatan kekayaan, dan juga tindakan mubazir
5.    Melakukan regulasi pasar dan juga pengawasan terhadapnya (pasar)
Pandangan Terhadap Kapitalisme Demokrat
Sistem kapitalisme demokrat mengakui hak individu secara penuh dan meyakini bahwa kepentingan semua orang akan terjamin apabila kepentingan pribadi setiap individu diperhatikan dari seluruh bidang. Menurut mereka, tujuan pemerintah hanya melindungi kepentingan dan keuntungan pribadi individu.
Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak sepenuhnya benar, bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empiris menunjukkan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan.
Dalam kaitan ini, Baqr As-Sadr, menolak asumsi ekonomi konvensional bahwa masalah ekonomi muncul disebabkan oleh faktor kelangkaan. Menurut Sadr masalah ekonomi muncul karena distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi kaya. Sementara yang miskin tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Berangkat dari pemikiran ini, Sadr tidak setuju dengan pemikiran ekonomi yang ada, tetapi menggantinya dengan istilah Iqtishad, yang bermakna seimbang, adil, pertengahan dan keadilan inilah yang harus melandasi sistem ekonomi yang berkembang .
Kritik Terhadap Kapitalisme Sosialis
Pada dasarnya, sosialisme dilahirkan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat pada umumnya saat itu. Di mana sistem ini berprinsip pada tiga hal, yakni: menghapus kepemilikan pribadi kepada kepemilikan bersama, seluruh hasil produksi dibagikan secara merata sesuai dengan yang dibutuhkan dan pemerintah harus memiliki regulasi yang matang mengenai pengaturan kehidupan ekonomi masyarakat.
Namun pada kenyataannya, analisis ini kurang tepat untuk diterapkan pada kehidupan masyarakat. Karena ternyata permasalahan baru justru timbul dari penyelesaian yang tidak tepat. Di mana ketika kepemilikan pribadi dihapus dan digantikan dengan kepemilikan bersama, justru bertentangan dengan karakter manusia. Dan para penguasa komunis pun mengakui kegagalan mereka.
2.2    Mazhab Menstrim
Mazhab ini berpandangan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan dengan keinginan manusia yang tak terbatas. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pandangan konvensional, perbedaannya hanya pada cara penyelesaian. Dalam konvensional ditentukan oleh pilihan dan skala prioritas berdasarkan selera pribadi masing-masing (pilihan berdasarkan hawa nafsu). Ekonomi Islam dipandu oleh Allah lewat al Qur’an dan Sunnah. Diantara tokoh pendukung mazhab ini adalah: Muhammad Umer Chapra, Muhammad Abdul Mannan.
2.2.1    Pemikiran Ekonomi Muhammad Umer Chapra
Biografi Muhammad Umar Chapra
Muhammad Umer Chapra lahir pada tahun 1933. Ia adalah warga Kerajaan Arab Saudi yang merupakan seorang pakar ekonomi yang berasal dari Pakistan. Pada tahun 1956, ia meraih gelar M.B.A. (M.Com.) dari University of Karachi dan meraih gelar doktor dalam bidang ekonomi dari University of Minnesota, Minneapolis dengan predikat summa cum Laue .
Pada tahun 1961, dari Amerika Serikat, ia kembali ke Pakistan dan bergabung dengan Central Institute of Islamic Research. Selama dua tahun, ia mengkaji gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam tradisi Islam yang menurutnya dapat memenuhi premis intelektual bagi sebuah sistem ekonomi yang sehat. Dari kajian tersebut, lahirlah bukunya "The Economic System of Islam: A discussion of its Goals and Nature" .
Ia bekerja sebagai penasehat ekonomi senior pada Monetary Agency, Kerajaan Arab Saudi, selama 35 tahun, sejak tahun 1965. Sebelumnya ia mengajar mata kuliah ekonomi pada University of Winconsin Platteville dan University of Kentucky, Lexington, AS. Ia juga bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor Pakistan Development Review pada Pakistan Institute of Development Economics, sebagai reader pada Central Institute of Islamic Reseach, Pakistan. Ia mempublikasikan sejumlah buku, monograf, artikel-artikel profesional tentang ekonomi Islam, serta telah memberikan kuliah secara luas tentang subjek ini di beberapa negara muslim.
Selain itu, ia juga memberi kuliah Islam, Ekonomi, dan Keuangan Islam pada lembaga seperti Harvard Law School, USA, London School of Economics Oxford Center for Islamic Studies, Inggris, dan Universidad Autonatan Madrid Spanyol. Pada tahun 1995, ia menerima penghargaan dari Institue of Overseas Pakistanis Award for Service to Islam .
Sejak tahun 1999, ia bekerja sebagai Research Advisor Islamic Reseach and Training Institute (IRTI) pada Islamic Development Bank (IDB) sampai sekarang .
Adapun karya-karya Muhammad Umer Chapra di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    The Economic System of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature, London, 1970.
2.    Towards a Just Monetary System, Leicester, 1985.
3.    Islam and The Economic Challenge, Leicester, 1992.
4.    The Future of Economics an Islamic Perspevtive.
5.    Islamic and Economic Development
6.    Dan lain-lain.
Sistem Moneter Islam
Buku Umer Chapra yang membahas tentang moneter adalah Towards a Just Monetary System 'Sistem Moneter Islam' merupakan buku keduanya yang terbit pada tahun 1985. Sebelumnya, buku pertamanya adalah  The Economic System of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature (London, 1970).
Buku yang kedua ini berusaha menjawab dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan sistem perbankan dan keuangan Islam. Buku ini terdiri dari sembilan bab. Bab pertama membahas tentang sasaran dan strategi sistem perbankan dan keuangan dalam perekonomian Islam. Ada lima hal yang dibahas pada bagian ini, yaitu a. kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal; b. keadilan sosioekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata; c. stabilitas nilai mata uang untuk memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang ditangguhkan, dan alat penyimpan nilai yang stabil; d. mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dalam suatu cara yang adil sehingga pengembalian keuntungan dapat dijamin bagi semua pihak yang bersangkutan; dan e. memberikan semua bentuk pelayanan yang efektif yang secara normal diharapkan berasal dari sistem perbankan .
Bab kedua membahas tentang hakikat riba dalam Islam baik yang terdapat al-Qur'an, hadis, maupun dalam literatur fiqh. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah Islam melarang keras praktek riba. Sebagai solusinya, diberikan beberapa alternatif bagi riba seperti (bab ketiga) pembiayaan lewat penyertaan modal (equity financing), membuat saluran untuk penyertaan modal (sole proprietorship [usaha yang dikelola sendiri], parnertship [kemitraan], mudharabah, musyarakah, dan perusahaan perseroan), dan koperasi.
Pada bab keempat dikemukakan tentang beberapa reformasi fundamental sebagai solusi selanjutnya untuk keluar dari praktek riba. Beberapa reformasi fundamental tersebut adalah tabungan dan investasi, pembiayaan lewat penyertaan modal, mengurangi kekuasaan bank, dan menciptakan bursa yang sehat .
Dengan pengenalan berbagai reformasi fundamental tersebut, sistem perbankan dapat berfungsi untuk mencapai sasaran-sasaran sosioekonomi Islam. Suatu perubahan yang hanya menggantikan riba dengan bagi hasil tidak akan dapat mencapai tujuan, meskipun hal tersebut merupakan perubahan yang perlu disambut sebagai cara yang digunakan oleh para bankir muslim untuk mencari pengalaman menjalankan perbankan bebas riba dan memberikan jalan bagi beberapa reformasi di kemudian hari .
Bab kelima mengevaluasi keberatan-keberatan yang timbul karena adanya penghapusan riba dan memperlihatkan alasan di balik pelarangan riba. Keberatan yang pertama adalah bahwa hal ini tidak akan dapat menciptakan sebuah alokasi sumber daya yang optimal karena bunga adalah seperti harga-harga yang lain yang melakukan fungsi mengalokasikan dana-dana pinjaman "yang langka" di antara para pengguna dana-dana yang jumlahnya tidak terbatas dalam suatu cara yang objektif berdasarkan kemampuan untuk membayar harga .
Keberatan yang kedua adalah kekhawatiran adanya suatu laju preferensi waktu yang sosial yang positif yang diperkuat oleh efek erosif inflasi, akan terbentuk tabungan dan formasi modal sektor swasta positif yang kecil dalam sebuah perekonomian Islam. Akan tetapi, kekhawatiran ini, menurut Umar Chapra dianggap tidak berdasar karena bukti-bukti empiris tidak menunjukkan adanya suatu korelasi positif yang signifikan antara bunga dan tabungan, bahkan di negara industri sekalipun. Dampak suku bunga pada tabungan di negara-negara berkembang ditemukan sangat kecil (negligible) dalam banyak studi .
Keberatan ketika yang dituduhkan adalah bahwa keseluruhan sistem yang berbasis pada penyertaan modal akan sangat tidak stabil. Tuduhan ini, oleh Umar Chapra dianggap sebagai tuduhan yang yang tidak berdasar, tanpa dukungan empiris dan tidak logis. Keberatan yang selanjutnya adalah bahwa prospek pertumbuhan akan redup dalam sebuah perekonomian Islam setelah penghapusan bung yang oleh Umar Chapra hal ini dianggap sebagai kritikan yang tidak valid .
Keberatan-keberatan lainnya adalah yang dianggap mengada-ada adalah bahwa dalam perekonomian bebas riba (perekonomian Islam) kerugian-kerugian cenderung ditimpakan kepada deposito Keberatan keenam yang dikemukakan adalah adanya pinjaman jangka pendek sehingga tidak dimungkinkan persiapan bagi hasil karena sulitnya menentukan keuntungan dalam periode yang sempit .
Keberatan ketujuh terhadap perekonomian Islam adalah berkaitan dengan penyediaan kredit konsumen dan pinjaman untuk proyek-proyek seperti pembangunan rumah dan industri perumahan. Keberatan yang paling utama terhadap perekonomian Islam adalah bahwa dalam ketiadaan bunga tidak mungkin pemerintah akan membiayai defisit anggaran dengan melakukan pinjaman dari sektor swasta. Defisit anggaran pemerintah adalah cara penting untuk menghasilkan pertumbuhan dan memperbaiki standar kehidupan .
Pada bab keenam dikemukakan tentang pendirian lembaga institusional yang secara prinsip berbeda dengan institusi konvensional dalam hal lingkup dan tanggung jawab. Bab ketujuh membahas tentang pengelolahan kebijakan moneter dalam lembaga yang baru. Kemudian pada bab kedelapan mengevaluasi program yang diajukan sesuai dengan tujuan yang dibahas pada bab pertama dan diakhiri dengan bab kesembilan yang merupakan bab kesimpulan.
Islam dan Tantangan Ekonomi
Buku Islam dan Tantangan Ekonomi merupakan hasil penelitian dan renungan selama satu dekade. Dalam penelitian ini, ia mengkaji tiga sistem ekonomi Barat yaitu Kapitalisme, Sosialisme, dan gabungan dari dua sistem tersebut yaitu "negara kesejahteraan". Ia mengemukakan neraca ketiga sistem tersebut dari segi prestasi-prestasinya maupun kegagalan-kegagalannya.
Pada pendahuluan bukunya ini, Umer Chapra mengemukakan tentang tujuan ditulisnya buku tersebut. Ia mengemukakan bahwa buku ini merupakan suatu upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa, bagaimana, dan untuk siapa melakukan produksi. Berapa jumlah barang dan jasa yang harus diproduksi, siapa yang akan memproduksinya, dan dengan kombinasi sumber-sumber daya apa saja dan dengan teknologi yang bagaimana serta siapakah yang akan menikmati barang dan jasa yang diproduksi itu .
Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut menentukan alokasi sumber daya dalam ekonomi, distribusi antarindividu dan antar (konsumsi) sekarang dan masa depan (tabungan dan investasi).
Secara garis besar, buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama meliputi sistem-sistem perekonomian yang gagal yang harus dihindari oleh negara-negara muslim, jika ingin mengaktualisasikan tujuan sosioekonominya. Tiga bab pertama pada bagian ini, menganalisis pandangan dunia dan strategi dari sistem yang berlaku. Umer bukan saja mengkritik, tetapi mengidentifikasi  logika, hakikat, dan implikasi dari konflik yang terjadi antara tujuan-tujuan, pandangan dunia, dan strateginya. Hal ini dilakukan agar pembaca mampu mengadakan apresiasi mengapa ketidakharmonisan ini membuat mereka gagal dan terus akan menggagalkan usaha-usaha dari negara-negara yang mengikuti sistem-sistem ini untuk merealisasikan  secara serentak efisiensi dan pemerataan  dalam alokasi sumber daya mereka yang terbatas.
Pada bab empat, diketengahkan masalah-masalah tentang formulasi kebijakan dalam perspektif sistem yang berlaku yang mengakibatkan inkonsistensi dalam kebijakan-kebijakan ekonomi yang dipakai oleh negara yang sedang  berkembang dan memperburuk berbagai hal. Bukan saja dalam bentuk ketidakseimbangan makroekonomi dan masalah eksternal yang terus merisaukan, tetapi juga makin menjauhkan mereka dari tujuan-tujuan mewujudkan pemerataan.
Bagian kedua dari buku ini terdiri dari delapan bab. Bagian ini, yaitu bab lima menjelaskan tentang pandangan dunia Islam dan strateginya. Pandangan dunia Islam ini didasarkan pada tiga prinsip yang paling pokok yaitu tauhid 'keesaan', khilafah 'perwakilan', dan 'adalah 'keadilan'.
Bab enam menjelaskan tentang musibah yang terjadi di dunia Islam. Musibah tersebut antara lain terjadinya degenerasi moral dan politik, serta terjadinya kemunduran dalam bidang ekonomi. Pada bab ini juga dijelaskan tentang perlunya perubahan di dunia Islam, perlunya peran ulama, dan restrukturisasi kebijakan.
Pada bab tujuh dibahas tentang bagaimana cara menghidupkan faktor-faktor kemanusiaan. Di antaranya dengan pemberian motivasi, keadilan sosioekonomi, perbaikan kondisi pedesaan, dimensi moral, meningkatkan  kemampuan dengan memberikan pendidikan dan latihan serta memperluas akses kepada keuangan.
Bab delapan berisi tentang bagaimana caranya mengurangi konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Di antara yang diusulkan adalah adanya reformasi mengenai kepemilikan tanah, pengembangan industri kecil dan mikro, kepemilikan yang lebih luas dan kontrol terhadap perusahaan, menggerakkan kembali zakat dan sistem warisan, dan restrukturisasi sistem keuangan.
Pada bab sembilan dan sepuluh membahas tentang bentuk-bentuk restrukturisasi ekonomi dan keuangan. Bab sebelas memaparkan tentang perencanaan kebijakan strategis dan diakhiri dengan bab dua belas mengenai kesimpulan yang memaparkan kembali intisari dari semua bab yang ada pada buku ini.
Islam dan Pembangunan Ekonomi
Muhammad Umer Chapra berbicara mengenai Islam dan Pembangunan Ekonomi. Ia menuangkan gagasan-gagasannya ini dalam bentuk buku. Buku ini lahir karena dilatarbelakangi oleh lima macam pertanyaan. Pertama, bagaimana jenis pembangunan yang diinginkan oleh Islam? Kedua dan ketiga, apakah jenis pembangunan ini dapat direalisasikan dengan pendekatan sekuler yang percaya pada sistem pasar atau sosialisme atau strategi-strategi yang diformulasikan  oleh para ekonom pembangunan dalam kerangka kerja dua sistem itu. Keempat, bagaimana strategi Islam? Apakah dapat membantu negara-negara muslim memformulasikan kerangka aktualisasi pembangunan yang diinginkan oleh Islam dengan tujuan menanggulangi ketidakseimbangan makro ekonomi? Kelima, kenapa, selama ini, negara-negara muslim gagal merumuskan dan mengimplementasikan strategi tersebut?
Di awal bukunya ini, Umer Chapra mengemukakan pandangan hidup Islam yang didasarkan pada tiga konsep yang fundamental yaitu tauhid (keesaan Allah swt.), khilafah, keadilan ('adalah). Tauhid adalah konsep yang paling penting dari ketiganya. Dua konsep lainnya merupakan turunan logika. Tauhid mengandung implikasi bahwa alam semesta ini secara sadar atau sengaja dibentuk  dan diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, dan Unik. Oleh karena itu, mustahil alam raya ini muncul secara kebetulan (Q.S. Ali Imran [3]: 191, Q.S. Shad [38]: 27, Q.S. al-Mukminun [23]: 15) .
Manusia adalah Khalifah Allah di Bumi (Q.S. al-Baqarah [2]: 30, al-An'am [6]: 165, Fathir [35]: 39, Shad [38]: 28, dan al-Hadid [57]: 7) dan semua sumber daya yang ada di tangannya adalah suatu amanah (Q.S. al-Hadid [57]: 7). Oleh karena Dialah yang menciptakan manusia, maka Dialah yang memiliki pengetahuan yang sempurna tentang makhluk-Nya, kekuatannya, dan kelemahannya. Dialah yang mampu memberikan petunjuk yang dengan petunjuk tersebut, manusia akan dapat hidup harmonis dengan alamnya dan kebutuhannya.  Umat manusia diberi kebebasan untuk memilih atau menolak petunjuk itu, meskipun demikian, mereka hanya dapat mencapai kebahagian (falah) dengan mengimplementasikan petunjuk tersebut dalam kehidupan mereka sendiri dan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai khalifah Allah, manusia bertanggung jawab kepada-Nya. Mereka akan diberi pahala dan disiksa di hari akhirat kelak berdasarkan kehidupan mereka di dunia ini.
Pada bab II bukunya, Umar Chapra menganggap bahwa sistem Kapitalisme laissez-faire dan Sosialisme telah gagal merealisasikan pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh, distribusi pendapatan, dan kekayaan yang merata. Kedua sistem itu tidak dapat mengantarkan perubahan struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan dengan keadilan dan stabilitas. Oleh karena itu, kedua sistem itu tidak mungkin dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara yang sedang berkembang, khususnya negara-negara muslim karena  komitmen Islam yang tegas terhadap keadilan sosioekonomi .
Umar Chapra bukan hanya mengkritik kedua sistem di atas tanpa solusi. Ia menawarkan lima tindakan kebijakan sebagai solusi bagi pembangunan yang disertai keadilan dan stabilitas. Kelima kebijakan tersebut adalah,1) memberikan kenyamanan kepada faktor manusia; 2) mereduksi konsentrasi kekayaan; 3) melakukan restrukturisasi ekonomi; 4) melakukan restrukturisasi keuangan; dan 5) melakukan rencana kebijakan strategis .
Sebenarnya, melalui buku ini, Muhammd Umer Chapra membuktikan bahwa Islamlah satu-satunya alternatif untuk menggantikan Kapitalisme dan Sosialisme. Ia membuktikan bahwa Islam mempunyai potensi untuk mewujudkan perekonomian yang berkeadilan yang selama ini didamba-dambakan oleh setiap manusia.
2.2.2    Pemikiran Ekonomi Abdul Mannan
Riwayat Hidup Abdul Mannan
Abdul Manan dilahirkan di di Bangladesh pada tahun 1938, ia memperoleh gelar masternya di bidang ekonomi dari Universitas Rajshani pada tahun 1960, setelah menyelesaikan kuliahnya ia lalu bekerja untuk pemerintah Pakistan dan ditempatkan di berbagai departemen terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Pada tahun 1970 ia juga memperoleh gelar master untuk yang kedua di bidang ekonomi dari Universitas Michingan AS, tiga tahun kemudian 1973 Manan juga memeperoleh gelar Doktor di bidang ekonomi dari Universitas yang sama dalam berbagai bidang ekonomi, seperti ekonomi pendidikan, ekonomi pembangunan, hubungan industri dan keuangan.
Setelah memperoleh gelar doktor, ia sempat mengajar di Papua New Gini, dan pada tahun 1978 ia diangkat menjadi profesor (guru besar) di Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah(sekarang bernama Centre for Research in Islamic economics / Pusat Riset Ekonomi Islam)
Mannan termasuk salah satu pemikir ekonomi Islam kontemporer yang cukup menonjol. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkan, salah satu karya tulisnya adalah Islamic Economics: Theory and Practice yang terbit tahun 1970 dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Turki, Arab, Benggali, Malaysia, termasuk bahasa Indonesia. Dari kontribusinya dalam membangun ekonomi Islam ini, pada tahun 1974 Mannan memperoleh penghargaan akademik tertinggi dibidang ekonomi dari pemerintahan Pakistan.
Buku Islamic Economics: Theory and Practice dijadikan Mannan sebagai persembahan terbaiknya demi kepentingan pendidikan di bidang ekonomi Islam saat itu, di saat di mana ekonomi islam ketika itu mulai menemukan momentum perkembangannya, dan buku ini merupakan buku tersukses saat itu dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi Islam, Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu : Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ Ijtihad atau Qiyas dan Prinsip hukum lainnya Mannan mengembangkan pemikiran mengenai Ekonomi islam didalam buku ini melalui prinsip-prinsip umum tentang ekonomi Islam, dan prinsip-prinsip yang telah ia tuangkan didalam buku ini di tawarkan kepada Negara-negara muslim yang saat itu mencari-cari solusi di bidang ekonomi yang mereka hadapi, sementara disisi lain belum satupun universitas yang memiliki kajian yang khusus tentang ekonomi Islam ini.
Setelah Mannan menebitkan buku kedua dan ktiganyanya yang berjudul : The Making of Islamic Economic Society dan The Frontiers of islamic Economics, tahun 1984, telah meningkatkan usaha-usaha mengembangkan pengetahuan mengenai ekonomi Islam, termasuk beberpa perguruan tinggi membuka kursus-kursus singkat dibidang kajian ekonomi Islam, dan tidak dapat dipungkiri bahwa Mannan adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan dibidang kajian ekonomi Islam kontemporer.
Pemikiran M.A. Mannan Mengenai Ekonom Islam
Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang di ilhami oleh nilai-nilai islam. Namun bukan berarti bahwa hal ini menyebabkan kaum muslimin dilarang mempelajari masalah-masalah ekonomi non-muslim, sebaliknya mereka tetap dituntut mempelajari dan mengilhaminya dengan nilai-nilai islam, terutama yang berkaitan dengan kemanusiaan pada umumnya.Menurutnya Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia (bukan individu yang terisolasi) tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai hidup dalam Islam.
Mannan berpandangan bahwa masalah ekonomi yang fundamental muncul dari adanya kebutuhan dan kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi kecuali dengan mengorbankan sumber daya energi manusia, kita dan peralatan material yang terbatas. Dalam hal ini menurut Mannan ekonomi islam sesuai dengan pandangan ekonomi modern, bedanya ada pada penentuan pilihan dalam skala prioritas, di mana dalam ekonomi modern pilihan tergantung pada bermacam-macam tingkah masing-masing individu tanpa memperhatikan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ekonomi Islam, manusia tidaklah pada kedudukan mendistribusikan sumber-sumber daya semau kita berdasarkan fungsi dasar ekonomi yaitu, produksi, distribusi dan konsumsi, tetapi ada suatu batasan moral yang serius berdasarkan ketetapan kitab suci Al-Quran terhadap tenaga individu dalam menjatuhkan pilihan nya, baik dalam berproduksi, konsumsi dan mendistribusikan hasil-hasil yang telah diperoleh. Ringkasnya ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya.
Menurut Mannan, disinilah letak ilmu ekonomi Islam lebih terbatas di banding ekonomi modern, terbatas karena hanya mengenai orang-orang yang mempunyai keyakinan kepada Allah dan ajaran-ajarannya, juga terbatas karena suatu negara islam belum mampu mendorong setiap individu untuk melakukan sistem ini. Namun persoalan pokok sesungguhnya adalah bahwa konsep kesejahteraan harus sesuai dan sejalan nilai-nilai universalisme islam, tanpa melihat tendensi golongan, karena prinsip universalisme islam akan tetap sahih sepanjang masa mendatang.
Selanjutnya sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’, Ijtihad atau Qiyas, Prinsip hukum lainnya. Dari sumber-sumber hukum Islam tersebut Mannan merumuskan langkah-langkah operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu:
1.    Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam semua sistem tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti fungsi konsumsi, produksi dan distribusi
2.    Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic functions yang berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu (timeless), misal sikap moderation dalam berkonsumsi
3.    Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau formulasi, karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin ekonomi Islam mulai dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan tentang apa (what), fungsi, perilaku, variabel dsb
4.    Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan jasa untuk mencapai tujuan (yaitu : moderation) pada tingkat individual atau aggregate.
5.    Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah keempat. Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga atau transfer payments.
6.    Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau atas target bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh kerangka yang ditetapkan pada langkah kedua maupun dalam dua pengertian pengembalian (return), yaitu pengembalian ekonomi dan non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan positif dan normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting.
7.    Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement). Pada tahap ini perlu melakukan review atas prinsip yang ditetapkan pada langkah kedua dan merekonstruksi konsep-konsep yang dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan kelima.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Secara jelas Mannan mengatakan: “ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be) penelitian ilmiah ekonomi modern (barat) biasanya membatasi diri pada masalah positif daripada normatif. Beberapa ekonom Muslim juga mencoba untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga dengan cara demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka pemikiran barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan secara sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi Islam saling terkait dan memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan dan menjadi counter productive.
Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka langkah pertama adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Lima prinsip dasar yang berakar pada syariah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi yakni prinsip righteousness (kedilan), cleanliness (kebersihan), moderation (kesederhanaan), beneficence (kemurahan hati)dan morality (Moralitas). Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan manusia terdiri dari necessities (kebutuhan), comforts (Kesenangan) dan luxuries (kemewahan).
Pada setiap aktivitas ekonomi aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi dalam sistem ekonomi islam kesejahteraan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga harus berorientasi pada etika Islam. Aspek lain selain konsumsi dan produksi yang tidak kalah pentingnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan dan akan dijelaskan di bagian lain makalah ini.
Pandangan Mannan Mengenai Konsumsi
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan, kebutuhan konsumen merupakan insentif pokok dari kegiatan ekonomi mereka. Menurut Mannan perbedaan utama antara ekonomi islam dengan ekonomi modern dalam hal konsumsi terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang, dalam islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dalam pola konsumsi modern. Menurutnya dalam islam kebutuhan itu sangat sederhana, namun peradaban modern telah menghancurkan pola kebutuhan yang sangat sederhana, dan cenderung pada pengukuran kesejahteraan seseorang terletak pada bermacam-macam kebutuhan yang sanggup ia penuhi dan upayakan. Sudah saatnya menurut Mannan etika ekonomi islam menjadi satu filter bagi manusia modern agar dapat mengurangi pemenuhan kebutuhan secara berlebihan dan luar biasa.
Dalam pandangan Mannan, ada lima prinsip mengenai konsumsi yang harus diperhatikan oleh seorang muslim, prinsip-prinsip itu adalah: Prinsip keadilan, Prinsip kebersihan, Prinsip kesederhanaan, Prinsip kemurahan hati dan Prinsip moralitas
Aturan pertama dan kedua mengenai konsumsi terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 168, 173, dan Al-Maidah ayat 4. Aturan konsumsi yang ketiga terdapat dalam QS Al-A’raf 31, dan QS. Al-Maidah 87. Prinsip keempat terdapat dalam QS. Suarah Al-Maidah ayat 96. Prinsip kelima mengenai Moralitas terdapat pada QS. Al-Maidah ayat 91, 94 dan 219. Secara umum islam melarang mengonsumsi sesuatu yang dapat merusak moralitas manusia, baik orang yang mengonsumsi maupun orang lain di lingkungan.
Di samping prinsip konsumsi, Mannan juga membicarakan mengenai skala prioritas dalam hal konsumsi, menurutnya skala prioritas dalam hal konsumsi adalah Keperluan, Kesenangan, Kemewahan. Menurutnya memakai barang-barang mewah tidaklah salah, hanya saja dilakukan dengan se efisien mungkin sehingga tidak melanggar aturan-aturan dan prinsip konsumsi. Karena menurut Mannan larangan-larangan yang ada dalam islam sesungguhnya tidaklah mengekang kehidupan muslim secara kaku, tetapi sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku konsumen.
Pandangan M.A. Mannan Mengenai Produksi
Mannan berpendapat prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah kesejahteraan ekonomi, konsep kesejahteraan ekonomi dalam islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang di akibatkan oleh meningkatnya produksi dari barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada secara maksimum, baik manusia maupun benda, selanjutnya diiringi dengan perbaikan sistem produksi, ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan maksimal dengan usaha minimal namun dalam hal konsumsi tetap berpedoman pada nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, dalam pandangan islam, meningkatnya produksi barang belum tentu menjamin kesejahteraan secara ekonomi, karena di samping peningkatan produksi juga harus memperhitungkan akibat yang ditimbulkan dari barang-barang yang di produksi, untuk itu islam telah melarang memproduksi barang-barang yang dilarang alam Islam seperti alkohol, karena peningkatan produksi barang ini belum tentu meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi. bedanya dengan sistem produksi dalam ekonomi konvensional, proses produksi dalam Islam harus tunduk kepada aturan Al-Quran dan Sunnah.
Sistem produksi di negara muslim menurut Mannan tidak hanya menaruh perhatian pada volume produksi, tetapi juga menjamin terlibatnya tenaga maksimum dalam proses produksi, dan ini menjadi sebuah kecaman di negara kapitalis karena proses produksi hanya melibatkan sejumlah pemilik modal saja, sehingga menghambat proses distribusi pendapatan yang berujung pada kesenjangan ekonomi.
Di samping itu menurut Mannan, sistem produksi dalam sebuah negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria subyektif diukur dengan kesejahteraan material, sedangkan kriteria obyektif harus tercermin dalam kesejahteraan dari segi etika ekonomi Islam yang didasarkan pada perintah-perintah kitab suci Al-Quran maupun Sunnah Nabi.
Seperti dalam ekonomi modern menurut Mannan sistem produksi dalam ekonomi islam juga dikenal adanya faktor produksi, faktor-faktor produksi dalam Islam adalah Tanah, Tenaga kerja, Modal, dan Organisasi. Tanah sebagai faktor produksi menurutnya harus dikelola sesuai dengan peraturan-peraturan syariah, baik Al-Quran dan Sunnah banyak menekankan pembudidayaan yang efisienn dan penggarapan yang baik, pemborosan pemakaian tanah dalam islam dikutuk termasuk pelarangan terhadap perusakan lingkungan, untuk itu dalam islam, negara berhak membuat peraturan yang tegas mengenai pengelolaan tanah sebagai faktor produksi agar di gunakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai pertumbuhan berimbang bagi kepentingan masyarakat, Nabi mengingatkan pengikutnya arti penting pembudidayaan tanah, dan membuat suatu ketentuan bahwa seorang hanya boleh memiliki tanah sebanyak yang dapat ia garap sendiri, dan menurut Mannan telah banyak ulama mutaqaddimin yang membahasnya.
Dalam masalah tenaga kerja Mannan berpendapat bahwa tenaga kerja sangat terkait dengan moralitas, ia menentang pandangan ekonomi modern yang menganggap bahwa tenaga kerja adalah Asset, di mana para pemilik tenaga kerja bebas berbuat dengan sesuka hatinya, dalam Islam tenaga kerja di pandang tidak hanya dari segi ukuran ekonomi dan keuangan saja, tetapi mereka adalah orang yang membutuhkan penghasilan demi kelanjutan kehidupan dan menjalankan fungsi hidup mereka, termasuk didalamnya keluarga mereka, oleh karena itu dalam islam penggunaan tenaga kerja tidak dibenarkan jika tujuannya hanya eksploitasi dari segi ekonomi saja, disinilah Islam memandang manusia tidak hanya dari segi ekonomi saja tetap dari segi manusia secara Religi yakni hamba Allah. Untuk itu istilah tenaga kerja (buruh) dalam Islam digunakan dalam arti yang luas namun tetap terbatas, luas berarti penggunaan jasa buruh secara maksimal di luar batas-batas nilai keuangan, terbatas berarti seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
Mengenai tenaga kerja ini Mannan juga membicarakan hubungan industrial dalam ekonomi, menurut Mannan Islam tidak mengakui penghisapan ataupun ekploitasi yang berlebihan terhadap para tenaga kerja, Islam juga tidak menyetujui dihapuskannya kelas kapitalis dan diadakannya masyarakat tanpa kelas dalam kerangka kerja sosial seperti dalam pandangan Karl Max. Dalam Islam diakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan. (al-Quran Surah An-Nisa 33) Islam tidak menyetujui persamaan tingkat yang sama sekali tidak berubah dalam pembagian kekayaan, karena hal ini dapat membatalkan maksud membentalkan maksud perbedaan yang sebenarnya. Tentu saja Islam mengakui adanya buruh dan majikan dalam masyarakat, dua prinsip dasar yang ditulis dalam hal ini, baik dalam Al-Quran maupun Hadits menyatakan bahwa, pelayan harus setia dan melakukan tugasnya dengan baik, sedangkan majikan harus membayar penuh untuk jasa yang diberikan oleh pelayannya tersebut. Pada kenyataannya Islam menjadikan hubungan yang berbahagia antara buruh dan majikan dengan memberikan nilai moral pada masalah itu, hal ini akan menjadi jelas jika kita menganalisa sebab-sebab pokok dari perselisihan industriak dan perintah Islam, pergolakan industri terutama karena faktor ekonomi dan psikologik. Dengan demikian menurut Mannan, jika sebab pertentangan industri modern maupun beberapa perintah islam dianalisis secara berdampingan, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa islam melindungi kepentingan buruh dan majikan dalam kerangka suatu organisme yang serba lengkap. Sesungguhnya dengan memberikan penilaian moral pada seluruh persoalan, islam telah menjalin persatuan antara buruh dan majikan. Dia katakan pula, sekali para pekerja dan majikan meresapi nilai islam, maka seluruh persoalan mengenai pemogokan dan penutupan tempat kerja relatif tidak perlu.
Faktor produksi selanjutnya adalah Modal, berkaitan dengan modal ekonomi islam mengharuskan terbebas dari bunga, dalam ekonomi Islam bunga tidak diperkenankan memainkan pengaruhnya yang dapat merugikan pekerja, produksi dan distribusi. Dengan alasan inilah menurut Mannan, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi Islam, menurut Mannan modal adalah sarana produksi yang menghasilkan, bukan sebagai faktor produksi utama seperti yang terdapat pada ekonomi modern.
Menurut Mannan, islam mengakui modal dan peranannya dalam proses produksi, islam juga mengakui bagian modal dihitung berdasarkan persentase laba yang berubah-ubah, bukan berdasarkan persentase tertentu dari modal itu sendiri. Dalam arti terbatas, teori islam mengenai modal tidak saja mengakui gagasan klasik tentang penghematan dan produktitas, tetapi juga gagasan Keynes tentang preferensi likuiditas, karena dalam islam, modal itu produktif, dalam arti bahwa tenaga kerja yang dibantu oleh modal akan lebih menghasilkan dari pada yang tanpa modal. Untuk itu menurut manan, laba yang diperbolehkan dalam islam adalah laba investasi dalam produksi yang merupakan proses yang memakan waktu. Motif laba akan mendorong seseorang melakukan investasi yang bersifat produktif.
Menurut Mannan teori islam mengenai modal lebih realitik, luas, dan etik dari pada teori modal ekonomi modern. Realisti karena produktivitas modal yang mengalami perubahan berkaitan dengan kenyataan produksi, yang dianggap mudah berubah dalam keadaan pertumbuhan yang dinamis. Luas berarti bahwa modal dalam islam memperhatikan semua variabel ekonomi. Etik berarti keikut sertaan modal dalam berbagai bidang disuatu negara harus bersifat adil dan wajar, juga harus bebas dari merugikan pelaku produksi lainnya, sehingga sinergi dari berbagai pelaku produksi meningkatkan kekayaan nasional. Karena itu dalam kerangka sosial islami, bunga yang ditetapkan kepada modal tidak diperbolehkan dampak merugikan ekonomi. Dengan kata lain islam yakin akan perekonomian yang bebas bunga.
Yang terakhir dari faktor produksi adalah organisasi, faktor ini menurut Mannan lebih kepada sifat-sifat motivasi kewirausahaan dalam kerangka Islam, kecenderungan memperoleh keuntungan seharusnya lebih diarahkan melalui kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan, dan hal ini memerlukan penggabungan modal manusia dengan sumber daya bukan manusia.
Pandangan M.A Mannan mengenai Distribusi Pendapatan
Sejak dahulu hingga sekarang masih berlangsung kontroversi luas dan sengit tentang pokok persoalan distribusi pendapatan nasional antara berbagai golongan rakyat, hal ini disebabkan kesejahteraan ekonomi rakyat sangat tergantung pada cara distribusi seluruh pendapatan nasional. Dikemukakan bahwa teori distribusi hendaknya dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan nasional di antara berbagai kelas rakyat. Terutama ia harus mampu menjelaskan fenomena, bahwa sebagian kecil orang kaya raya, sebagian besar adalah orang miskin. Bahayanya, kalangan ahli ekonomi modern menganggap masalah distribusi bukan sebagai masalah distribusi perseorangan, melainkan sebagai masalah distribusi fungsional.
Mengenai dasar pemikiran distribusi pendapatan di antara berbagai faktor produksi Mannan menjelaskan, Pertama, pembayaran sewa, umumnya mengacu pada kebutuhan tanah akibat tingginya permintaan dan terbatasnya lahan. Kedua. Perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui oleh islam, syarat pokoknya adalah para majikan tidak boleh mengisap dan mengekploitasi para pekerja, majikan harus membayar upah mereka. Sebaliknya para pekerja juga harus melaksanakan tugas mereka dan dilarang keras melakukan eksploitisir melalui serikat-serikat buru Ketiga. Terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Menurut Mannan, tidak ada satu ahli ekonomi yang mampu menjawab dengan tegas mengapa bunga harus dibayarkan. Sementara di bagian lain, teori islam mengenai modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanya sejauh mana sumbangan modal tersebut yang diukur berdasarkan persentase yang berubah-ubah dari laba pada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Selanjutnya menurut Mannan, tidak dapat disangkal lagi bahwa bungalah yang menumbuhkan kapitalisme berlebihan di tengah masyarakat. Bunga menimbulkan pengangguran, memperlambat proses pemulihan deresi ekonomi, menyebabkan masalah pelunasan utang di negara-negara berkembang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah merusak prinsip pokok kerja sama, saling membantu, dan menjadikan individualisme tumbuh subur di tengah masyarakat. Keempat. Islam memperkenankan laba biasa, bukan laba hasil monopoli apalagi spekulasi Kelima, pengakuan terhadap peran serta wanita, menurut Manan ini merupakan implementasi dari hukum waris dalam islam.
Terakhir Mannan mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajiban yang dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan secara sukarela, Rumusan kebijakan tersebut adalah:
1.    Pembayaran Zakat dan ‘Ushr (pengambilan dana pada tanah ‘Ushriyah yaitu tanah jazirah Arab dan negeri yang penduduknya memeluk Islam)
2.    Pelarangan riba baik untuk konsumsi maupun produksi
3.    Pemberian hak untuk sewa ekonomi murni (pendapatan yang diperoleh usaha khusus yang dilakukan oleh seseorang) bagi semua anggota masyarakat
4.    Implementasi hukum waris untuk meyakinkan adanya transfer kekayaan antar generasi
5.    Mendorong pemberian pinjaman lunak
6.    Mencegah penggunaan sumberdaya yang dapat merugikan generasi mendatang
7.    Mendorong pemberian Infaq dan shadaqah untuk fakir miskin
8.    Mendorong organisasi koperasi asuransi
9.    Mendorong berdirinya lembaga sosial yang memberikan santunan kepada masyarakat menengah ke bawah
10.    Mendorong pemberian pinjaman aktifa produktif kepada yang membutuhkan
11.    Tindakan-tindakan hukum untuk menjamin dipenuhinya tingkat hidup minimal (basic need)
12.    Menetapkan kebijakan pajak selain zakat dan ‘Ushr untuk meyakinkan terciptanya keadilan sosial.
Pandangan M.A. Manan Mengenai Kebijakan Fiskal dan Anggaran Belanja dalam Ekonomi Islam
1.    Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang diuraikan oleh M.A. Mannan meliputi kebijakan pengeluaran, kebijakan pemasukan dan kebijakan pemasukan terhadap warga negara Non-Muslim. Sementara mengenai kebijakan anggaran yang coba di paparkan oleh Mannan meliputi anggaran Belanja Modern, Anggaran belanja defisit, dan Pembiayaan Defisit, serta pemasukan dalam negeri.
Menurut M.A. Mannan prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spritual yang sama. Dalam sistem perekonomian modern kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui pemberian insentif dan meniadakan insentif yang disediakan untuk meningkatkan pemasukan negara, tentunya melalui perpajakan, pinjaman dan sebagainya, tetapi di negara sekuler sistem perpajakan didasarkan kepada sosioekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dalam islam sejauh itu tercapai dengan utuh tidak masalah, namun terkadang undang-undang yang diciptakan dapat menghambat pencapaian itu, dan hanya memakmurkan sekelompok kecil masyarakat dan organisasi saja, untuk itu islam tidak dapat membenarkan hal ini terjadi.
Cara kebijakan fiskal diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi, menurutnya dalam negara islam memiliki kekhususan sendiri yang muncul dari orientasi, dimensi etik dan sosial dalam pendapatan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal di negara islam menurutnya tidak lagi netral, dan diharapkan menjelaskan tidak hanya sebagaimana mestinya namun sebagaimana harusnya. Untuk itu menurut Mannan dalam suatu negara Islam proses mengalokasi penggunaan sumber daya, mendistribusikan pendapatan dan kekayaan, seharusnya memiliki manifestasi keprihatinan sosial dan moral yang jelas di samping kesejahteraan material yang merata.
Negara Islam seperti yang di ungkapkan oleh Mannan bukan suatu teokrasi, namun suatu negara ideologi yang berperan sebagai pelaksana mekanisme hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya (Al-Quran dan Sunnah). Karena itu kebijakan fiskal dalam ekonomi islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hukum islam, tujuan pokok hukum islam adalah mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia. Menurutnya, kesejahteraan ummat manusia dapat dicapai jika ekonomi islam tidak hanya berbicara mengenai kebijakan fiskal saja, namun juga harus konsisten terhadap nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam sifat-sifat Allah seperti Maha Pemberi Rizki, Maha Pemurah, dan lain-lain sehingga kebijakan fiskal tidak memberatkan masyarakat.
Mannan memaparkan di masa awal islam, walaupun sederhana namun terdapat sejumlah instrumen fiskal (Pajak), pada umunya adalah Zakat, Jizyah, Kharaj, Barang Rampasan perang (ghanimah), pajak pertambangan dan harta Karun, bea cukai dan pungutan-pungutan. Menurutnya sistem pajak di awal islam itu bersifat elastis dan dinamis. Misalnya, harta yang dikenai zakat tidak dipertahankan secara kaku, Khalifah Umar pun melakukan sejumlah perubahan dalam sistem zakat karena zakat merupakan cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.
a.    Kebijakan Pengeluaran.
Pemikiran Mannan mengenai kebijakan pengeluaran dalam ekonomi islam didasarkan pada pemahamannya terhadap QS. Attaubah ayat 60, menurutnya Al-Quran telah menetapkan perintah-perintah yang sangat tepat mengenai kebijakan-kebijakan pengeluaran pendapatan negara, kegiatan pengeluaran negara tidak diserahkan kepada kekuasaan dan kepala negara, tidak juga pada perundang-perundangan, tapi kepada kemaslahatan dan pembangunan kesejahteraan umat. ayat ini menurut Mannan memberi implikasi yang sangat luas, seperti pemahaman terhadap beberapa kata-kata yang dilakukan Mannan terhadap ayat ini, antara lain kalimat masa kini memberi makna bahwa termasuk di dalamnya seluruh mayarakat miskin yang menjadi warga suatu negara tanpa terkecuali termasuk non-muslim dan Khalifah Umar adalah orang yang pertama sekali mengutarakan pemahaman ini.
Menurut penulis mengenai pendapat Mannan ini adalah akan tidak adil jika pajak yang dibayarkan oleh non muslim boleh dinikmati kaum muslimin, sementara zakat tidak boleh mereka nikmati, sementara Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama terhadap berbagai golongan dan kelas warga negaranya.
Jadi hal penting yang hendak dikemukakan Mannan dalam ayat ini adalah penggunaan zakat untuk membangun kesejahteraan masyarakat termasuk non-muslim adalah boleh-boleh saja, demikian juga dengan Istilah Fisabilillah “jalan Allah” memiliki pengertian yang sangat luas, mengeluarkan uang untuk meringankan penderitaan non muslim bisa saja dianggap sebagi pengeluaran di jalan Allah. Pemahaman lain yang coba diutarakan oleh Mannan dari ayat ini adalah kalimat Musafir, menurutnya zakat tidak hanya memberi penginapan dan makan cuma-cuma, tapi juga memperbaiki pariwisata seperti hotel, sarana transportasi, keamanan jalanan dan sebagainya.
Terlepas dari perintah yang tepat mengenai pengeluaran pendapatan Negara, Al-Quran juga telah menetapkan suatu kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi kekayaan berimbang di antara berbagai lapisan masyarakat. Demikianlah sistem pengeluaran yang coba di utarakan oleh al-Quran yang mendorong pengeluaran bukan menimbun kekayaan dalam individu.
b.    Kebijakan Pemasukan
Pada masa Nabi SAW, di antara sumber pemasukan utama negara adalah, zakat, sedekah. Zakat dan sedekah tidak hanya meliputi pajak pada uang tunai, tapi juga penerimaan tanah dan pajak pada binatang piaraan (biri-biri, kambing, unta dan lembu), termasuk pajak pada pertambangan (terutama emas dan perak), pada harta yang terpendam yang ditemukan dan sebagainya. Kebijakan pemasukan keuangan negara tersebut dilandaskan pada kebajikan dan memperhatikan orang-orang tidak berpunya.
Menurut Mannan, seharusnya kegiatan negara yang menarik penghasilan juga harus dikendalikan prinsip kebajikan dan pemeliharaan terhadap orang-orang yang kurang berpunya, tapi kebijakan pemasukan melalui perpajakan modern terutama penarikan pajak yang bersifat tidak langsung justru jatuh dan di pikul pundak orang-orang tak punya, karena kebanyakan pajak tak langsung pada ekonomi modern umumnya dibebankan kepada kebutuhan pokok hidup yang standar. Di sinilah letak ketidaksetujuan Mannan pada sistem kebijakan perpajakan modern untuk itu ia menyarankan agar sistem perpajakan islam harus menjamin bahwa hanya golongan yang kaya dan makmur yang memikul beban utama perpajakan. Barangkali karena hal ini, maka pendapatan tidak dipajak berdasarkan sumbernya, tetapi pada tabungan dan penimbunan.
c.    Kebijakan Pemasukan terhadap Non-Muslim.
Dalam sebuah negara muslim cenderung membedakan pemasukan antara muslim dan non-muslim. Bila pemasukan Zakat dari kaum Muslimin dan dikeluarkan bagi kesejahteraan kaum Muslimin dan yang non-muslim, maka dapat dipertimbangkan agar suatu negara dapat memungut suatu jumlah tertentu dari penghasilan kalangan non-muslim. Mannan sepekat dengan sistem ini, namun ia sepakat jika di sebuah negara Islam pemasukan seperti ini hanya digunakan untuk kesejahteraan kaum non-muslim yang ada di suatu negara Islam. Alasannya, zakat tidak bisa dengan pajak di negara sekuler manapun, karena ide zakat bukan pemaksaan tapi idenya muncul dengan niat ibadah kepada Allah, sementara pajak muncul dan dibuat berdasarkan tingkah laku para pembuat kebijakan Negara.
2.    Kebijakan Anggaran Negara
Anggaran negara merupakan suatu campuran yang rumit antara rencana pendapatan dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan dengan tujuan rangkap meningkatkan dan memperbaiki pengelolaan kemasyarakatan di masa depan maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi, pada masa awal Islam kebijakan anggaran tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, karena itu tidak ada seruan untuk pertumbuhan ekonomi dalam arti pertumbuhan ekonomi modern, tetapi menurut Mannan, terdapat perintah-perintah yang secara eksplisit, antara lain mengenai perintah bekerja dan berdagang. Menurut Mannan paradigma anggaran seperti ini harus diubah kepada paradigma anggaran berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga sebuah negara harus memakai konsep anggaran yang berimbang atau bahkan surplus, suatu anggaran dikatakan berimbang jika penerimaan negara lebih besar dari pengeluaran suatu negara, Anggaran menjadi surplus jika penerimaan negara lebih besar dari pengeluaran negara, jika sebaliknya akan terjadi defisit.
Namun hal rumit menurut Mannan, jika terjadi defisit dalam anggaran negara. Dalam perekonomian modern defisit anggaran negara dapat diatasi dengan pinjaman luar negeri, penerbitan surat berharga negara dengan sistem bunga, tentunya dalam islam ini tidak dibenarkan, untuk itu apakah dalam suatu negara islam harus dihindarkan dari anggaran defisit?. Namun menurut Mannan, negara tidak harus menghindari defisit anggaran, defisit anggaran ini bisa diatasi dengan melakukan pembiayaan defisit dengan mekanisme  Mudarabah, Musyarakah, dan Murabahah,. Menurutnya dengan sistem ini pembiayaan proyek disuatu negara di benarkan secara islam, dan proyek ini harus diatur berdasarkan pada pembagian laba secara proforsional sesuai dengan jumlah modal. Meskipun demikian menurut Mannan pemerintah dalam sebuah negara muslim harus merencanakan secara cermat anggaran negara yang dibutuhkan.
Dalam negara islam yang menjadi dasar kebijakan anggaran tidak lagi penerimaan negara, tetapi didasarkan pada pengeluaran. Hal ini berdasarkan pada persyaratan islam bahwa suatu negara harus menyediakan kebutuhan minimum bagi warganya, karena dengan metode ini negara dapat merencanakan sumber pendanaan negara dan instrumen terpenting adalah zakat, namun bila instrumen ini tidak mencukupi makan selelau terbuka kemungkinan-kemungkinan pendanaan lain, asal dilakukan dengan bijaksana, termasuk dengan instrumen pembiayaan proyek berdasarkan mekanisme Mudarabah, Musyarakah, dan Murabahah, juga masuk dalam sumber pendanaan adalah dengan menerbitkan sertifikat investasi untuk masyarakat berdasarkan bagi hasil.
Karena itu menurut Mannan, sistem anggaran islami berbeda dengan sistem yang berlaku dan dianut oleh negara-negara non muslim, baik dalam jiwa maupun dalam intinya, terutama karena dua sebab :
a.    Sangat sedikitnya pengaruh suku bunga yang kejam dalam suatu sistem anggaran negara, khususnya sistem anggaran islami
b.    Tujuan anggaran harus konsisten dengan perintah Al-Quran dan Sunnah. Rakyat tidak berada dalam kekuasaan para penguasa dan cendekiawan keuangan negara.
c.    Fungsi anggaran yang direncanakan harus berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Pemikiran M.A. Mannan Mengenai Zakat
Zakat menurut Mannan adalah Poros dan pusat keuangan negara Islam, zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas dalam memberantas kemiskinan dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan di tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya di tangan para pemiliknya. Di samping itu menurut Manan Zakat merupakan sumbangan wajib kaum muslimin ke kas perbendaharaan negara.
Lebih jauh Mannan mengatakan bahwa, Zakat tidak mempunyai konotasi jahat seperti pajak sekuler dewasa ini. Dalam Al-Quran setidaknya ada dua puluh ayat berbeda yang menyandingkan Zakat dengan Shalat, secara fundamental keduanya memiliki fungsi yang sangat penting, zakatkan kehilangan maknanya bila tidak timbul dari hati yang takwa dan perasaan bersih tanpa mementingkan diri sendiri, shalat tidak berarti jika tidak menyebabkan perasaan dan sikap tulus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Adanya hubungan timbal balik yang dinamis di antara dua lembaga spritual dan duniawi dalam masyarakat islam ini adalah perlambang terdapatnya kesatuan batin antara agama dan ilmu ekonomi. Karena semangat moral di belakang lembaga Zakat diperoleh dari sumber spritual abadi shalat, maka akibat sosial dan ekonomisnya bermanfaat, dan mengakibatkan pola sosial yang timbul bebas dari kekejaman kapitalisme dan standarisasi komunisme yang memaksa.
Keselarasan sosial yang menyerap segala hal inilah yang membuat H.G. Wells mengatakan dalam The Outline of Historisnya, Islam telah menciptakan masyarakat yang terbebas dari kekejaman dan penindasan sosial yang meluas, bila dibandingkan dengan masyarakat manapun yang pernah terdapat di dunia.
Di samping itu menurut Mannan, terdapat enam prinsip syariat yang mengatur mengenai Zakat, ke enam prinsip itu antara lain :
1.    Prinsip Keyakinan, prinsip ini menjadi sumber inspirasi pertama dalam pelaksanaan zakat, karena dalam islam zakat merupakan ibadat, dengan demikian hanya seorang yang berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti jiwa yang sesungguhnya.
2.    Prinsip keadilan, prinsip ini tercermin dalam sabda Nabi SAW, “Bagi hasil Tanah yang di airi oleh hujan dan mata air, atau yang di airi oleh mata air yang mengalir pada permukaan bumi ditentukan zakatnya spersepuluh dari hasilnya, sedangkan bagi yan di airi oleh sumur, seperduapuluh dari hasilnya (HR.Bukhari), berdasarkan hadist ini Mannan berpendapat bahwa prinsip keadilan menyatakan jika makin berkurang jumlah pekerjaan dan modal, semakin berkurang pula tingkat pungutan.
3.    Prinsip produktifitas atau sampai pada waktunya. Dalam prinsip ini Mannan kelihatannya sangat terinspirasi pada kebijakan perpajakan khalifah Umar ibn Khattab yang mengataka “siapa yang memperoleh kekayaan setelah satu tahun, berlaku zakat atasnya” menurutnya zakat dibayarkan pada setiap tahun setelah memperhatikan Nisab, Nisab berarti surplus minimum dari nilai ril harta benda yang sama nilainya diatas pengeluaran yang diperlukan. Nisab berlaku pada zakat jika telah sampai waktunya dan produktif.
4.    Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan membayar zakat adalah seorang yang berakal dan bertanggung jawab, menurut Mannan ini menunjukkan bahwa harta yang wajib zakat adalah harta orang yang bertanggungjawab.
5.    Prinsip kemudahan, prinsip ini tergambar dari kewajiban membayar zakat di akhir tahun.
6.    Prinsip kemerdekaan, hal ini tergambar dari prasyarat seorang pembayar zakat harus orang yang merdeka.
Salah satu pikiran Mannan yang sangat penting adalah mengenai jenis dan dasar pemungutan zakat, di masa modern ini menurutnya, golongan harta benda yang ditetapkan dapat dikenakan zakat harus dikaji ulang, jangan hanya mempertahankan pengenaan zakat pada awal islam, hal ini didasarkan pada bermacamnya sumber pendapatan masyarakat, untuk itu ia menyarankan dan telah disepakati dalam pertemuan para pakar fiqh modern di Damaskus tahun 1962, bahwa zakat harus dikeluarkan untuk segala jenis penghasilan dan harta benda yang tidak diketahui di awal masa Islam. Benda-benda itu antara lain seperti mesin industry, uang kertas, laba profesi, dan segala jenis perdagangan yang dihalalkan.
Lebih lanjut mengatakan dalam penetapan tarif dan jenis penghasilan yang harus dikenakan zakat, Negara islam dapat menggunakan suatu unsur dinamisme, dimana seluruh penghasilan yang diperoleh dari berbagai profesi harus dikenakan zakat, meskipun di awal islam hal itu tidak dikenal. Menurut penulis Mannan telah meletakkan dasar ijtihad penting mengenai zakat dari berbagai profesi zaman modern, akhirnya kita jadi yakin bahwa yang lebih berkewajiban membayar zakat adalah mereka yang memiliki penghasilan besar meskipun tidak dari usaha yang dikenal di awal islam seperti pertanian.
Pemikiran Mannan Perencanaan Pembangunan Ekonomi dalam Islam
Menurut Mannan, Islam mengakui Konsep perencanaan modern yang mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada dalam Negara untuk mencapai tujuan tertentu, dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan nilai kehidupan yang berubah-ubah. Dalam arti yang lebih luas, perencanaan menyangkut persiapan menyusun setiap kegiatan ekonomi. Dalam islam, perencanaan pembangunan ekonomi tidak lain dari suatu sintesis perencanaan dengan dorongan pimpinan. Beberapa ketentuan Al-quran dan hadist mengenai hal itu. Kerja sama antara sektor pemerintah dan swasta adalah dasar perencanaan ekonomi salam islam. Tujuan perencanaan ekonomi dalam islam tergantung kebutuhan masyarakat, dan dapat diubah menurut perubahan kebutuhan masyarakat namun harus tetap berpegangan pada ketentuan pembangunan ekonomi berdasarkan Al-quran dan Sunnah.
Kebaikan tujuan dari sebuah perencanaan ekonomi dapat dinilai dari prinsip kesejahteraan si miskin. Hal ini dapat dilihat dari semua isyarat-isyarat hukum Allah yang kesemuanya dibuat untuk keseimbangan-keseimbangan dan kesejahteraan makhluknya, bila bertentangan dengan hak tersebut atau ada yang dirugikan maka kebijakan ekonomi tersebut harus dikaji ulang. Karena mendahulukan menghilangkan penderitaan diutamakan dari memperoleh manfaat. Jika tidak dapat dielakkan, maka harus dipilih yang paling ringan akibatnya. Yang jelas harus mencerminkan kemaha pengasihan Allah.
Menurut Mannan, pelaksanaan perencanaan ekonomi dalam islam harus dilakukan oleh sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan yang dilaksanakan melalui prinsip Mudharabah. Oleh karena itulah menurut Mannan, dalam perencanaan islami kemungkinan rugi akan sangat kecil, demikian pula kemungkinan defresi akan jauh lebih sedikit.
Selanjutnya dalam perencanaan ekonomi, Menurut Mannan memiliki dua sumber utama yaitu, sumber dari dalam negeri dan lainnya adalah bantuan luar negeri. Sumber keungan dalam negeri dapat berupa : tabungan masyarakat dan tabungan pemerintah. Sedangkan sumber luar negeri adalah kebijakan suatu negara dalam rangka menutupi defisit anggaran. Namun dalam islam, pembiayaan defisit harus dilakukan dengan sistem kemitraan, mitra dalam perdagangan, mitra dalam industri, dan mitra dalam rencana pembangunan. Menurut Mannan alah satu perbedaan fundamental antara perencanaan ekonomi islam dengan perencanaan modern adalah tidak diizinkannya sistem bunga, karena bunga dalam prinsip perencanaan ekonomi islam dianggap dapat merusak sistem produksi, menghilangkan kesempatan kerja, merusak keadilan sosial. Untuk itu dalam islam, kebijakan defisit anggaran harus berdasarkan kemitraan (Musyarakah).
Sementara untuk pembangunan ekonomi, Mannan lebih sepakat bahwa negara harus memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada, dalam pemanfaatannya menurut Mannan harus melibatkan seluruh komponen masyarakat, sehingga masyarakat dapat di berdayakan dengan maksimal.
Demikianlah makalah ini disusun secara sederhana, meskipun pemikiran Mannan belum seluruhnya dapat terangkum secara sempurna, namun setidaknya dapat menggambarkan modernisasi pemikiran ekonomi.
2.3    Mazhab Alternatif
Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantikan dengan teori baru. Mazhab Mainstream dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukan variabel zakat, serta niat. Mazhab ini berpendapat: Analisis kritis bukan saja dilakukan terhadap sosialis dan kapitaslis, tetapi juga terhadap ekonomi Islam. Islam pasti benar tetapi ekonomi Islam belum tentu benar karena ekonomi Islam hasil tafsiran manusia dari al Qur’an dan Hadits. Salah satu tokoh mazhab ini adalah Timur Kuran.
Biografi Timur Kuran
Timur Kuran adalah Profesor Ekonomi dan Profesor Pemikiran Islam dan Budaya, University of Southern California, Los Angeles, California. E-mail-nya adalah kuran@rcf.usc.edu. 156 Jurnal Perspektif Ekonomi Islam berbeda dari tradisi ekonomi sekuler.
Dalam dua tiga dekade terakhir, jumlah uang yang signifikan dan tumbuh cepat telah memasuki industri keuangan yang dikelola 'sesuai' dengan syariat. Menurut sebuah studi, 'pada akhir tahun 2005, lebih dari 300 lembaga di lebih dari 65 yurisdiksi mengelola aset bernilai sekitar US $ 700 miliar, meningkat menjadi US $ 1 triliun dengan cara 'sesuai syariah'.
Ekonomi Islam semakin membesar dengan berkembangnya portofolio karena para eksportir minyak dan berlipatnya pengalihan instrumen keuangan Islam (seperti hipotik bebas bunga dan surat utang sukuk). Di kalangan industri keuangan 'konvensional' mulai timbul pertanyaan: Bisakah instrumen 'sesuai- syariat ' ini menantang tatanan keuangan internasional?
Tidak Berakar dari Islam
Untuk memahami asal muasal ekonomi Islam kita bisa merujuk pada Prof Timur Kuran, guru besar ekonomi dan ilmu politik kelahiran Turki, di Duke University. Ia menulis sebuah buku berjudul Islam and Mammon, ditulis dengan dukungan dari Pemerintah Saudi, Raja Faisal, sebagai Profesor Pemikiran Islam dan Kebudayaan di University of Southern California. Sekarang mengajar di Duke University, Kuran menemukan bahwa ekonomi Islam tidak berasal dari ajaran Nabi Muhammad, sallalahu alaihi wa sallam, tetapi merupakan 'tradisi yang diciptakan' yang muncul pada 1940-an di India. Gagasan tentang disiplin ekonomi 'yang berbeda dan jelas Islami' ini sangatlah baru. Bahkan seorang Muslim paling terpelajar seabad yang lalu akan tercengang dengan istilah 'ekonomi Islam'.
 Ide ini lahir dari gagasan seorang aktivis Islam, Abul-Ala Maududi (1903-1979), yang menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan suatu mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan: untuk meminimalkan hubungan dengan non-Muslim, memperkuat rasa identitas kolektif Muslim, memperluas jangkauan Islam ke daerah aktivitas baru manusia, dan modernisasi tanpa Westernisasi.
Sebagai disiplin akademis, ekonomi Islam bergulir selama pertengahan 1960-an, memperoleh bobot kelembagaannya selama era booming minyak tahun 1970-an. Yakni ketika Saudi dan eksportir Muslim lainnya, untuk pertama kalinya memiliki sejumlah besar uang, menjadikannya sumber 'bantuan besar' bagi proyek tersebut. Di Indonesia, sebutan 'ekonomi Islam' diperlunak menjadi 'ekonomi syariat' berkembang sejak awal 1990-an, ketika Orde Baru mulai ramah terhadap Islam.
Kegagalan Total
Pendukung ekonomi Islam membuat dua klaim dasar: bahwa tatanan kapitalis yang berlaku telah gagal dan bahwa Islam menawarkan obatnya. Untuk menilai pernyataan terakhir ini, Prof. Kuran memberikan perhatian yang kuat untuk memahami fungsi yang sebenarnya dari ekonomi Islam, dengan fokus pada tiga tuntutan utama: bahwa ia telah menghapuskan bunga atas uang, mencapai kesetaraan ekonomi, dan membangun etika bisnis yang superior. Pada semua ketiga hal terbut, Prof Kuran menemukan kegagalan total.
 Tidak ada satu tempat pun praktek 'ekonomi Islam' yang berhasil membersihkan bunga dari transaksi ekonomi, dan tak ada satu tempat pun Islamisasi ekonomi mendapatkan dukungan massa. Teknik-teknik 'eksotis dan rumit' dalam pembagian laba-rugi seperti ijarah, mudharabah, murabahah, dan musyarakah semua melibatkan pembayaran bunga secara terselubung. Bank yang mengaku Islam sebenarnya 'tak lebih dari sekadar lembaga keuangan modern ketimbang sesuatu yang berasal dari warisan Islam.' Singkatnya, hampir tidak ada sedikitpun Islam dalam perbankan Islam ini - satu hal yang sangat menjelaskan mengapa Citibank dan perbankan kafir lainnya memiliki deposito 'sesuai-Islam' terbesar ketimbang bank-bank yang khas Islam.
 Tidak ada sedikitpun keberhasilan dari tujuan mengurangi kesenjangan dengan pengenaan zakat dalam perbankan ini. Memang, Kuran menemukan zakat yang dikelola perbankan ini 'tidak selalu mentransfer sumber daya kepada orang miskin, melainkan justru menjauhkan sumber daya dari mereka.' Kita tahu, rukun zakat mal, mengharuskan zakat ditarik dalam Dinar emas dan Dirham perak, dan dibagikan kepada delapan mustahik. Penetapan zakat dalam perbankan syariah tak lain adalah gimmick semata. Penekanan pada moralitas ekonomi yang diperbarui sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku ekonomi. Itu karena, ada miripnya dengan sosialisme, adanya 'unsur-unsur tertentu dari agenda ekonomi Islam yang bertentangan dengan sifat manusia sendiri.'
Kuran menolak seluruh konsep ekonomi Islam. 'Di sini tidak ada sedikit pun cara yang jelas Islam untuk membangun sebuah kapal, atau mempertahankan suatu wilayah, atau menyembuhkan epidemi, atau ramalan cuaca', lantas mengapa soal uang diadakan? Dia menyimpulkan bahwa signifikansi ekonomi Islam tidak terletak pada substansi ekonomi, tetapi dalam identitas dan agama. Bagi Kuran, skema 'ekonomi Islam' ini lebih mempromosikan penyebaran aliran pemikiran anti-modern yang berkembang di seluruh dunia Islam. Bagi Kuran, ini hanya cocok bagi tumbuhnya lingkungan kondusif untuk militansi Islam, yang salah arah. Selain itu DR. Timur Kuran berpendapat bahwa bukan hanya sistem sosialisme dan kapitalisme saja yang harus mendapatkan kitik dan analisa, namun juga beberapa pemikiran ekonomi Islam yang muncul. Aliran ini, berpendapat bahwa Islam adalah agama yang benar dan mutlak adanya namun pemikiran ekonomi Islam adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, pemikiran ekonomi Islam juga harus tetap di kritisi.
Salah satu kritik yang dilakukan aliran alternative Kritis ini adalah mengkritik pemikiran ekonomi Sadr yang di anggap bahwa sesuatu yang di katakan oleh aliran Sadr sebagai upaya penggalian dan penemuan sistem ekonomi Islam yang benar-benar baru pada dasarnya sudah ditemukan oleh sistem ekonomi konvensional. Oleh karena itu, bagi aliran ini apa yang dilakukan oleh Sadr dengan mengklaim telah menemukan sistem ekonomi yang murni dan berbeda dengan sistem konvensional harus tetap dikaji secara proporsional sebagaimana kita mengkaji sistem kapitalisme dan sosialisme
Berbagai artikel yang ditulis oleh Kuran, Selama dekade 1990-an, menunjukkan bahwa perbankan slam sangat menguntungkan, dan mereka tetap mengambil dan memberikan bunga, dengan menampilkannya sebagai pendapatan atas risiko. Jadi, bagi Kuran, perbankan Islam hanyalah simbolisme belaka, untuk memberikan kesan global pada gerakan Islamisme.
Kembali Ke Muamalat
Kepalsuan 'ekonomi Islam' semakin banyak terbongkar, baik secara konseptual maupun praktikal. Ekonomi Islam, telah mengalami titik buntunya, dan akan segera berakhir. Secara konseptual telah berakhir karena semakin dibuktikan ketidak terkaitannya dengan syariat Isalam. Secara praktek ekonomi Islam juga telah berakhir dengan telah kembalinya muamalat. Muamalat, yang jelas berakar dan berasal dari tradisi yang diajarkan Rasul, sallalahu walayhi wa sallam, dipraktekkan oleh para Sahabat, Tabiin dan Tabiit-Tabiin, kini telah mulai dimengerti dan diamalkan kembali di Nusantara, dan di berbagai belahan dunia lainnya.
Koin-koin Dinar emas dan Dirham perak telah ditransaksikan di pasar-pasar. Zakat telah ditarik dan dibagikan sesuai rukunnya, dalam Dinar emas dan Dirham perak. Kontrak-kontrak komersial dan bisnis, qirad dan syirkat, perlahan-lahan telah diterapkan kembali sesuai dengan kaidah aslinya. Harta, perlahan-lahan, semakin banyak keluar dari timbunan perbankan dan berubah menjadi koin-koin emas dan perak, yang berputar di semua kalangan.

BAB III
KESIMPULAN
Menurut Muhammad Baqir As-Sadr ekonomi Islam adalah sebuah doktrin, semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai (keadilan sosial) Di dalam doktrin ekonominya, keadilan menempati posisi sentral. Keadilan merupakan penilaian moral dan tidak dapat diuji.
Distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagian hasil penjualan produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan. Faktor-faktor tersebut di antaranya faktor tenaga kerja, tanah, modal, dan managemen. Besaran distribusi pendapatan ditentukan oleh tingkat peranan masing-masing faktor produksi Sadr membagi distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum prodoksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Penjelasan Sadr mengenai hal ini didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan pemilikan dan distributive rights.
Peran Negara Dalam Distribusi Pendapatan Menurut An-Nabahani dikatakan tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga:
1.    Mengawasi faktor utama penggerak ekonomi
2.    Menghentikan mu'amalah yang diharamkan
3.    Mematok harta kalau diperlukan
Belum semua pemikiran-pemikiran M.A. Mannan tertuang dalam makalah ini, namun setidaknya apa yang telah penulis paparkan sedikit menggambarkan tentang pola pikir ekonomi M.A. Mannan, Mannan telah menawarkan pemikirannya mengenai ekonomi islam dan dapat penulis simpulkan bahwa pengembangan ekonomi ia menawarkan langkah-langkah yang cukup sistematis dan realistis, semua metode operasionalnya ia peroleh dan kembangkan dari sumber-sumber hukum Islam.
Dalam masalah konsumsi, produksi, dan distribusi telah di jelaskan Mannan dengan baik, pendapatnya masih memiliki beberapa kesesuain dengan ekonomi modern, antara lain bahwa kegiatan utama ekonomi adalah yang tersebut di atas, namun dalam hal faktor produksi ada beberapa perbedaan dengan para ahli ekonom modern.
Selanjutnya beliau juga membahas mengenai kebijakan fiskal dan anggaran dalam ekonomi islam, dan terdapat beberapa konsep penting dalam pengembangan kebijakan ekonomi dalam ekonomi islam. Begitu pula dengan pemahamannya mengenai zakat, Mannan juga telah memaparkan dengan baik pandangannya mengenai zakat. Terakhir tentang perencanaan ekonomi dan pembangunan ekonomi telah memberikan gambaran penting bagi kita. Mudah-mudahan makalah ini memberi manfaat maksimal.
Umar Chapra menganggap bahwa sistem Kapitalisme laissez-faire dan Sosialisme telah gagal merealisasikan pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh, distribusi pendapatan, dan kekayaan yang merata. Kedua sistem itu tidak dapat mengantarkan perubahan struktural radikal yang diperlukan untuk merealisasikan pertumbuhan dengan keadilan dan stabilitas. Oleh karena itu, kedua sistem itu tidak mungkin dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara yang sedang berkembang, khususnya negara-negara muslim karena  komitmen Islam yang tegas terhadap keadilan sosioekonomi.
Prof Timur Kuran menemukan bahwa ekonomi Islam tidak berasal dari ajaran Nabi Muhammad, sallalahu alaihi wa sallam, tetapi merupakan 'tradisi yang diciptakan' yang muncul pada 1940-an di India. Gagasan tentang disiplin ekonomi 'yang berbeda dan jelas Islami' ini sangatlah baru. Bahkan seorang Muslim paling terpelajar seabad yang lalu akan tercengang dengan istilah 'ekonomi
Selain itu dia juga Kuran Islam merupakan seorang yang memiliki aliran pemikiran alternative yang menyatakan  bahwa Islam adalah agama yang benar dan mutlak adanya namun pemikiran ekonomi Islam adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, pemikiran ekonomi Islam juga harus tetap di kritisi.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia Euis, Jurnal Iqtishad,Vol.1, No. 1, Februari 2009.
Aslam Haneef Muhammad, Contemporary Islamic Economic Thought, A Selected Comparative Analysis.Kuala Lumpur. Ikraq. 1995.
Chamid Nur, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Chapra Umer, Sistem Moneter Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
http://darwinmunthe.blogspot.com/2012/11/pemikiran-ma-mannan
http://nurfadhillah.students.uii.ac.id/2013/01/25/ekonomi-islam-dan-subekonomi-islam-timur-kuran/
http://syafaatmuhari.wordpress.com/2011/09/05/pemikiran-al-maududi-dan-baqir-al-sadr-tentang-ekonomi-islam/
Malik Abdul, "Humanisme dalam Pemikiran Ekonomi Islam (Telaah Pemikiran Muhammad Umer Chapra)", Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004
Mannan M.A, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan. M. Nastangin. Yogyakarta. PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Makalah Tentang Mazhab Iqtishaduna, Menstrim dan Alternatif dan Tokoh Pemikirannya"

  1. 1. penekannanya pada 3 aspek antara iqtishaduna, mainstrem, dan alternatif,

    2. lalu re interpretasi dari 3 aspek itu bagaimana jika kemudian di komparasikan pada konteks kontemporer di semua lini, sosial, instansi dan LKS???

    ReplyDelete

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah