Makalah Hubungan Proses Pembelajaran Dengan Teori Thorndike
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Belajar mengajar adalah
suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang
terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif
dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan
sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan
segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Harapan yang tidak
pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang
disampaikan guru dapat dikuasai oleh anak didik secara tuntas. Ini merupakan masalah yang cukup sangat sulit yang
dirasakan oleh guru. Kesulitan itu dikarenakan bukan saja anak didik hanya
sebagai individu dengan segala keunikannya, tetapi mereka juga sebagai makhluk
sosial dengan latar belakang yang berlainan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hubungan proses pembelajaran dengan teori Thorndike ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah
proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan
ilmu dan pengetahuan. Penguasaan dan
kemahiran tabiat. Serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan
kata lain pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik.
B. Implikasi Konstruktivisme dalam
Pembelajaran
Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa dalam pandangan kontruktivisme, belajar merupakan suatu
proses mengkontruksi pengetahuan melalui katerlibatan fisik dan mental secara
siswa secara aktif. Belajar juga merupakan suatu proses mengasimilasikan dan
menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki
seseorang sehingga pengetahuannya tentang objek tertentu menjadi lebih kokoh.
Oleh karena itu, terdapat beberapa hal prinsip yang berkaitan dengan pemahaman
tentang belajar:
1. Belajar
berarti membentuk makna. Makna dalam hal ini merupakan hasil bentukan siswa
sendiri yang bersumber dari apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami
2. Kontruksi
berarti merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis.
3. Secara
substansial, belajar bukanlah aktivitas menghimpun fakta atau informasi, akan
tetapi lebih kepada upaya pengembangan pemikiran-pemikiran baru.
4. Proses
belajar yang sebenarnyaterjadi ketika skema pemikiran seseorang dalam keraguan
yang menstimulir pemikiran-pemikiran lebih lanjut. Dalam waktu-waktu tertentu
situasi mengandung keragu-raguan memiliki unsure positif untuk mendorong siswa
belajar.
Dalam proses
pembelajaran siswa bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya sendiri.
Foucoult dalam The Arceology ,
menyatakan pendidikan yang membelenggu merupakan transfer pengetahuan, sedang
yang membebaskan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi
proses transformasi yang di uji dalam kehidupan nyata. Pemikiran-pemikiran yang
mendasarinilah yang menyebabkan maka didalam proses pembelajaran siswa harus
terus didorong untuk memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk
mengembangkan penalaran terhadap apa yang ia pelajari, dengan cara mencari
makna, membandingkan sesuatu yang baru dipelajari dengan pengetahuan yang telah
ia miliki sebelumnya.
Karena proses belajar
merupakan suatu proses organic, dimana seseorang menemukan sesuatu, bukan suatu
proses mekanik sekedar mengumpulkan fakta, maka dalam pandangan kontruktivisme
proses belajar seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang bukanlah sesuatu yang sekali jadi, akan tetapi melalui suatu proses
dinamis yang berlangsung secara terus- menerus. Dalam perkembangan tersebut,
ada yang mengalami perubahan besar yang berkenaan dengan perubahan konsep lama
melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan atau memperluas konsep
yang sudah ada melalui asimilasi. Ketika siswa aktif membangun pengetahuan
mereka sendiri, maka guru membantu berperan sebagai mediator untuk membangun
pengetahuan mereka tersebut. Jelasnya belajar yang berarti terjadi melalui
refleksi pemecahan masalah, pengertian-pengertian dan dalam proses tersebut
selalu ada aktivitas untuk memperbaharui tingkat pemikiran yang sebelumnya
tidak lengkap. Hal inilah yang mengharuskan siswa untuk selalu berperan aktif,
karena keberhasilan pembentukan pengetahuan-pengetahuan, pemikiran-pemikiran
baru, baik melalui proses akomodasi maupun melalui asmilasi. [1]Peran
sentral siswa ini pula yang mendorong mereka untuk secara dinamis selalu
berupaya mencari dan mengembangkan kreasi-kreasi baru di dalam pembelajaran.
Melakukan percobaan-percobaan dalam upaya mengembangkan nalar dan kemampuannya
untuk mencapai taraf berpikir yang lebih tinggi. Karena siswa yang aktif
berperan membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri, maka setiap siswa
harus mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ia miliki. Siswa hendaknya memahami
karakteristik belajarnya, bagaimana cara yang ia anggap sesuai untuk membangun
pengetahuannya yang sering kali berbeda dengan cara yang digunakan oleh
individu-individu yang lain. Memahami kekuatan diri, cara-cara dan model
belajar yang sesuai dengan diri sendiri, dalam pandangan kontruktivis menjadi
bagian yang sangat penting dalam upaya mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Ketidakpahaman siswa dengan karakteristik diri dan model-model belajar yang
sesuai dengan dirinya berpotensi untuk terjadinya kegagalan dalam belajar.
Meskipun menurut
pandangan kontruktivis upaya membangun pengetahuan dilakukan oleh siswa melalui
kegiatan belajar yang ia lakukan, namun peran guru tetap menempati arti penting
dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan ini mengajar memang tidak hanya
diartikan menyampaikna informasi, akan tetapi lebih menitik beratkan perannya
sebagai mediator dan fasilitator. [2]Dalam
kegiatan pembelajaran fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan
dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut:
1. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawabdalam membuat
rancangan, proses dan penelitian,
2. Memberikan
kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk
mengeksperasikan gagasan-gagasannya serta ide-ide ilmiahnya.
3. Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran-pemikiran siswa dapat di dorong
secara aktif.
Ada beberapa tindakan
yang spesipik yang perlu dilakukan guru untuk mengoptimalisasi perannya dalam
proses pembelajaran;
a. Untuk
meningkatkan kecermatan guru dalam mengerti apa yang sudah siswa ketahui, maka
diperlukan peningkatan intensitas interaksi antara guru dan siswa.
b. Tujuan
pembelajaran dan aktivitas-aktivitas di kelas sebaiknya dibicarakan bersama
dengan siswa agar mereka dapat berperan aktif dalam kegaiatan-kegiatan tersebut
dan mendapat pengalaman belajar melalui keterlibatan langsung di kelas.
c.
Guru perlu berupaya secara intensif
untuk mengetahui pengalaman-pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan
kebutuhan siswa. Untuk itu maka
pembinaan komunikasi dialogis antara guru dan siswa harus terus dikembangkan.
d.
Guru
perlu berupaya mendorong tumbuhnya rasa percaya diri siswa, bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya.
e.
Guru
perlu bersikap fleksibel, membina keakraban dengan siswa sehingga semakin dapat
memahami pemikiran-pemikiran siswa serta kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan
cara demekian pula guru akan lebih mudah mengetahui kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswa dalam membangun pengetahuan dan meningkatkan kemampuan berfikir
mereka.
C. Implementasi Keterpaduan dalam
Pembelajaran
Pandangan yang dikemukakan
sebelumnya memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap
perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran penentuan
strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.[3]
1.
Pemahaman
Peserta Didik
Pemahaman
peserta didik merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikn
dan pembelajaran. Jika guru memahami peserta didik denganbaik, maka ia dapat
memilih dan menentukan sumber-sumber belajar yang tepat, pendekatan-pendelkatan
yang sesuai, mampu mengatasi masalah-masalah pembelajaran sehari-hari dengan
baik, sehingga potensi anak dapat di dorong untuk mencapai perkembangan yang
optimal melalui penyelenggaraan proses pembelajaran. [4]
Pemahaman potensi peserta didik merupakan
kerangka dasar bagi pemahaman peserta didik secara keseluruhan. Kekeliruan
pandangan terhadap eksistensi mereka seringkali menimbulkan dampak yang serius
bagi anak
2.
Mengaktualisasikan
Potensi Siswa
Upaya-upaya
pengembangan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang
dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam praktik pelaksanaan
pendidikan di sekolah masih sering kali terdapat persepsi yang keliru yang
memisahkan tanggung jawab guru dalam batas-batas pengembangan potensi tertentu
dari peserta didik. Padahal sesungguhnya
pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang ingin di capai oleh
semua sekolah dan guru, dan itu berarti sangat keliru jika guru hanya
bertanggung jawab menyampaikan meteri pelajaran pada bidang studi nya saja.[5]
Guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa
melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut peranan guru sulit digantikan oleh
yang lain. Karenanya dalam proses pembelajaran di kelas guru tidak cukup hanya
berbekal pengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang di ajarkan, akan tetapi
perlu memperhatikan aspek-aspek pendidikan lainnya yang memiliki kedudukan sama
pentingnya untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang diharapkan.
3.
Pemilihan
Bahan Pembelajaran
Untuk terwujudnya iklim
dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik
berkenaan dengan kemampuan guru, misalnya didalam memilih bahan ajar, sarana,
dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivasi
siswa untuk belajar dan mencapai hasil belajar yang optimal.
Dalam
pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi,
konsistensi, dan kecukupan. Prinsip relevansi artinya,materi
pembelajaran harus relevan atau ada kaitan dengan pencapaian standar kompetensi
dan kompetensi dasar. Prinsip konsistensi artinya,
keajegan. Jika kompotensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah pengoperasian
bilangan yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, maka
materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian. Prinsip kecukupan artinya, materi
yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai
kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak
boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka akan kurang membantu mencapai
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan
membuang waktu atau tenaga sementara halite diluar kemampuan anak. Metode
pembelajaran yang baik harus didukung pula oleh berbagai faktor penunjang
seperti perhatian serta dukungan orangtua, keadaan lingkungan serta kesehatan
yang baik dan gizi anak yang cukup.
4.
Prinsip-prinsip
Belajar dalam Pembelajaran
Beberapa prinsip yang dapat dikembangkan
dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Perhatian
dan Motivasi
Perhatian dan
motivasi merupakan dua akitivitas yang memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Untuk menunbuhkan perhatian diperlukan adanya motivasi. Sejumlah hasil
penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkatkan jika anak memiliki yang kuat
untuk belajar. [6]
Dalam kaitan
belajar, peran guru sangat penting didalam menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Menyadari bahwa motivasi terkait erat dengan kebutuhan, maka tugas guru adala
meyakinkan para siswa agar tujuan belajar yang ingi diwujudkan adalah menjadi
suatu kebutuhan bagi setiap siswa. Motivasi dapat bersifat internal dan
eksternal.Guru hendaknya menyampaikan kepada siswa bahwa hasil belajar yang
baik adalah suatu kebutuhan guna mencapai sukses yang dicita-citakan.
b. Keaktifan
Keaktifan anak dalam belajar merupakan
persoalan yang penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari dan
dikembangkan oleh setiap guru di dalam proses pembelajaran. [7]Demekian
pula berarti harus dapat diterapkan oleh siswa dalam setiap bentuk kegiatan belajar.
Keaktifan belajar di tandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik
intelektual, emosional dan fisik jika dibutuhkan. Pandangan mendasar yang perlu
menjadi kerangka pikir setiap guru adalah bahwa pada prinsipnya anak-anak
adalah makhluk yang aktif.
c. Pengulangan
Teori belajar klasik yang memberikan
dukungan paling kuat terhadap prinsip belajar pengulangan ini adalah teori
psikologi daya. Berdasarkan teori ini, belajar adalah melatih daya-daya yang
ada pada manusia yang meliputi daya berpikir, mengingat, mengamati, menghapal,
menanggapi dan sebagainya. Melalui latihan-latihan maka daya-daya tersebut
semakin berkembang. Sebaliknya semakin kurang pemberian latihan, maka daya-daya
tersebut semakin lambat perkembangannya.
Disamping
teori psikologi daya, prinsip pengulangan ini juga didasari oleh teori
Psikologi Asosiasi yang di pelopori oleh Thorndike
dengan salah satu hukum belajarnya,
yang mengemukakan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan
respons.[8] Pandangan
psikologi condisioning juga memberikan dasar yang kokoh bagi pentingnya proses
latihan. Psikologi ini berpandangan bahwa munculnya respon, tidak saja
disebabkan adanya stimulus , akan tetapi lebih banyak disebabkan karena adanya
stimulus yang dikondisikan. Banyak prilaku individu yang dapat dikondisikan.
Dalam konteks ini dikondisikan dapat diartikan dengan dibiasakan. Belajar
adalah merupakan salah satu bentuk upaya untuk mengkondisikan atau membiasakan
suatu prilaku. Sebagai contoh, anak-anak kelassatu sekolah dasar diharuskan
untuk berbaris setiap kali bel atau lonceng berbunyi, sehingga pada kesempatan
lain meskipun tidak di suruh berbaris, setiap kali mendengar bunyi bel masuk
mereka selalu berbaris. Setiap akan memulai pelajaran, guru mengharuskan
anak-anak berdo’a, sehingga lama-kelamaan, walaupun tanpa di suruh guru,
anak-anak akan memulai pelajaran setelah terlebih dahulu berdo’a.
d.
Model
Pembelajaran
Model-model
pembelajaran dikembangkan utamanya beranjak dari adanya perbedaan berkaitan
dengan berbagai karakteristik kepribadian, kebiasaan-kebiasaan, modalitas
belajar yang bervariasi antara individu satu dengan yang lain, maka model
pembelajaran guru juga harus selayaknya tidak terpaku hanya pada model
tertentu, akan tetapi harus bervariasi.[9] Di
samping di dasari pertimbangan keragaman siswa, pengembangan berbagai model
pembelajaran juga dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi
belajar siswa, agar mereka tidak jenuh dengan proses belajar yang sedang
berlangsung. Itulah sebabnya maka di dalam menentukan model-model pembelajaran yang
akan dikembangkan, gurunharus memiliki pemahaman yang baik tentang
siswa-siswanya, keragaman kemampuan, motivasi, minat, karakteristik pribadi
lainnya. Sebelum mengkaji lebih dalam tentang model-model pembelajaran, ada
baiknya kita pahami kerangka pikir Gagne yang menegaskan lima kemampuan manusia
yang merupakan hasil belajar sehingga memerlukan berbagai model dan strategi
pembelajaran untuk mencapainya, yaitu:
1.
Keterampilan intelektual, yakni sejumlah
pengetahuan mulai dari kemampuan baca, tulis, hitung sampai kepada pemikiran
yang rumit. Kemampuan ini
sangat tergantung pada kapasitas intelektual, kecerdasan sosial seseorang dan
kesempatan belajar yang tersedia.
2.
Strategi
kognitif, yaitu kemampuan mengatur cara belajar dan berpikir seseorang dalam
arti seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkan masalah.
3.
Informasi
verbal, yakni pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.
4.
Keterampilan
motorik, yakni kemampuan dalam bentuk keterampilan menggunakan sesuatu,
keterampilan gerak.
5. Sikap
dan nilai, yakni hasil belajar yang berhubungan dengan sikap, intensitas
emosional.
e.
Metode
Mengajar
Metode mengajar
adalah cara yang dipergunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat
untuk menciptakan proses mengajar dan belajar.[10] dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan
belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Adapun
jenis-jenis metode mangajar yaitu:
a.
Metode Ceramah
b.
Metode Tanya Jawab
c.
Metode Diskusi
d.
Metode tugas belajar dan Resitasi
e.
Metode kerja kelompok
f.
Metode Demonstrasi dan Eksperinen
g.
Metode Problem Solving
h.
Metode Sistem Regu
i.
Metode Simulasi
Menurut Teori Thorndike pandangannya
dalam pembelajaran
Thorndike
adalah salah satu tokoh dalam lapangan psikologi pendidikan yang besar
pengaruhnya. Dalam tulisannya yang mula-mula sekali Thorndike berpendapat,
bahwa yang menjadi dasar belajar itu ialah asosiasi antara kesan panca indera
dengan implus untuk bertindak. Asosiasi yang demekian itu di sebut bond atau connection. Asosiasi atau bond
atau koneksi itulah yang menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya
atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. [11]
Bentuk
belajar yang khas baik pada hewan maupun pada manusia itu oleh Thorndike
disifatkan sebagai trial and error
learnig and connection. Organism
(pelajar, dalam eksperimen dipergunakan hewan juga) dihadapkan kepada situasi
yang mengandung problem untuk dipecahkan, pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar
itu akan memlilih respons yang tepat diantara berbagai respons yang dilakukan.
Eksperimen-eksperimen Thorndike yang mula-mula modelnya adalah demekian ini,
dan terutama dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai subjek dalam
eksperimen itu. Eksperimennya yang khas adalah dengan kucing, dipilih yang
masih muda yang kebiasaan-kebiasaannya masih belum kaku, dibiarkan lapar, lalu
dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu
kurungan itu di buat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol
tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan
yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si
kucing yang lapar itu. Pada usaha(trial) yang pertama kucing itu melakukan
berbagai macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti
misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol
dan pintu terbuka. Waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah
lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang, pada
usaha-usaha berikutnya ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem
itu makin singkat. Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demekian: “kucing itu
sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia
belajar mencamkan(mempertahankan) respons-respons yang salah”.
Berbeda dengan penelitian-penelitian laboratorium
mengenai hal belajar itu yang dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu, dalam
eksperimen ini thorndike memasukkan masalah baru didalam belajar, yaitu masalah
dorongan (motivation), hadiah, dan
hukuman. Penelitian-penelitian
yang dahulu umumnya tidak mempersoalkan hal itu (semisal saja penelitian
Ebbinghaus).
Eksperimen-eksperimen
Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf
insani. Dia yakin bertentangan dengan kepecayaan umum bahwa tingkah laku hewan
sedikit sekali di pimpin oleh pengertian. Respons-respons
dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak
menyatakan secara eksplisit menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan,
dia yakin bahwa maslah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai
hubungan langsung antara situasi dan perbuatan, tanpa diantarai oleh
pengertian. Perbandingan yang dibuat mengenai kurva belajar pada hewan dan pada
manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar proses
belajar pada hewandan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar pada
hewan maupun belajar pada manusia itu berlangsung menurut Tiga macam hukum
belajar pokok, yaitu;
1. Law of readiness
Law of readiness
adalah
prinsip tambahan yang mengambarkan taraf fisiologis bagi law of offect. Hukum ini menunjukkan keadaan-keadaan dimana pelajar
cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan, menerima atau menolak
sesuatu. Jadi sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak.
Thorndike mamberikan ilustrasi mengenai hukum tersebut seperti hewan mengejar
mangsanya, siap untuk menerkam atau memakannya.
2. Law of exercise
Hukum
ini mengandung dua hal yaitu:
a). law of use. Hubungan-hubungan atau
koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan, dan
b). law oddisuse. Hubungan-hubungan atau
koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan
atau penggunaan dihentikan.
3. Law of
offect
Law of offect ini
menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat
daripada hasil respons yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi yang
dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan
hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan
disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Menurut Thorndike
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus yaitu apa
saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan,atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respons yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
juga dapat berupa pikiran perasaan, atau gerakan tindakan.dari defenisi ini
maka menurut torndike perubahan tingkah
laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat
diamati, atau tidak kongkrit tidak dapat diamati.
Jadi teori Thorndike
ini merupakan salah satu teori yang besar sekali pengaruhnya dalam masalah
belajar.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori Thorndike berhubungan dengan
proses pembelajaran. Menurut Thorndike
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus yaitu apa
saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan,atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respons yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang
juga dapat berupa pikiran perasaan, atau gerakan tindakan.Dari defenisi ini
maka menurut Thorndike perubahan tingkah
laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat
diamati, atau tidak kongkrit tidak dapat diamati.
DAFTAR PUSTAKA
Pannen
Mustafa dan Sekarwinahayu, Kontruktivisme
dalam Pembelajaran, Applied Aroach. 2005.
Suparno
Paul, Filsafat Kontruktivisme dalam
Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997.
Aunurrahman,
Belajar
dan Pembelajaran, Alfabeta: Bandung, 2009.
Gorden,
Menjadi Guru Yang Efektif, PT Gramedia:
Jakarta, 1997.
Nana
Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo.2009.
Sumadi Suryabrata, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2008.
[1] Pannen Mustafa dan
Sekarwinahayu, Kontruktivisme dalam
Pembelajaran, Applied Aroach. 2005.hal.20
[2] Suparno Paul, Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan,
Kanisius, Yogyakarta, 1997.hlm.22.
[3] Aunurrahman, Belajar
dan Pembelajaran, Alfabeta: Bandung, 2009. Hlm. 74.
[4] Ibid.
[5] Gorden, Menjadi Guru Yang Efektif, PT Gramedia: Jakarta, 1997. Hlm.78.
[6]
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran,
Bandung: Alfabeta,2009, hlm. 114.
[7]
Ibid, hlm.119.
[8]Ibid, hlm.123.
[9]Ibid,hlm.141
[10]
Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo.2009.hlm.76.
[11] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2008. Hlm.248.
0 Response to "Makalah Hubungan Proses Pembelajaran Dengan Teori Thorndike"
Post a Comment