Makalah Tentang Aliran Sesat Atau Nabi Palsu
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari dulu
hingga sekarang sangat marak sekali penodaan terhadap ajaran agama islam oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang berupaya sekuat tenaga untuk
menebarkan paham-paham maupun pencucian otak untuk mendapatkan pengikut atau
jama’ah. Kelompok-kelompok yang menodai agama islam sudah pasti merupakan
aliran sesat karena telah keluar jalur dari jalan yang lurus menuju jalan yang
sesat alias jalan yang salah.
Orang-orang
yang mengikuti aliran sesat tersebut sangat kasihan sekali, karena mereka
diperdaya oleh setan-setan dari golongan manusia untuk menjerumuskan mereka ke
dalam kesesatan. Orang-orang yang sesat yang memiliki pemahaman tidak sesuai
dengan ajaran agama islam yang benar sudah pasti akan menjadi penghuni neraka.
Jangan harap mendapatkan surga, tetapi mereka justru masuk neraka. Para
pengikut aliran sesat hanya akan dijadikan alat untuk mewujudkan impian pemimpin
dari aliran sesat tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut
1.
Apa arti dari
aliran sesat?
2.
Bagaimana
pendapat ulama terkait aliran sesat atau nabi palsu ?
3.
Apa penyebab
terjadinya penyimpangan aqidah?
4.
Bagaimana cara
menangkal bahaya aliran sesat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aliran Sesat
Aliran
Sesat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah istilah khas dari kaum muslimin
Indonesia untuk sebuah kelompok agama atau pemikiran yang menyatakan diri
bagian dari Islam tetapi sebenarnya menyimpang dari Islam. Dikatakan sebagai
“istilah khas” karena memang istilah ini bukan istilah resmi keagamaan Islam
yang diturunkan dari al-Qur’an dan Hadist. Pengertian “sesat” dalam al-Qur’an
dan Hadist berbeda dengan pengertian “sesat” dalam istilah “aliran sesat” yang
dimaksud tulisan ini. Pengertian sesat
dalam al-Qur’an dan Hadist mencangkup semua jenis penyimpanan dari jalan yang
lurus, baik dalam level kecil atau besar, disengaja atau tidak disengaja.
Sementara pengertian “sesat” dalam istilah “aliran sesat” adalah penyimpangan
dari dasar-dasar Islam (ushuluddin) yang di rumuskan oleh MUI pada tanggal 6
Nopember 2007, ke dalam 10 kriteria,
yaitu:
1.
Mengingkari
salah satu rukun iman dan rukun islam.
2.
Meyakini atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i.
3.
Meyakini
turunnya wahyu sesudah al-Qur’an.
4.
Mengingkari
otentisitas dan kebenaran al-Quran.
5.
Menafsirkan
al-Quran tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir.
6.
Mengingkari
kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7.
Menghina,
melecehkan dan/atau merendahkan Nabi dan Rasul.
8.
Mengingkari
Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dana Rasul terakhir.
9.
Mengubah,
menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at.
10.
Mengafirkan
sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan seorang muslim hanya
karena bukan kelompoknya.
Kesepuluh maklumat yang dikeluarkan oleh MUI bukan tanpa dasar,
bahkan dilandasi oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan Al Hadist serta
bersesuaian dengan prinsip-prinsip Ahlussunah Wal Jama’ah.
B.
Fatwa Ulama
Zaman tentang Kafirnya Orang Mengaku Nabi
Di
zaman ini Allah menurunkan ujian keimanan bagi kaum muslimin untuk menguji
siapakah di antara mereka yang beriman dengan benar, dan mana yang kafir atau
munafik. Ujian itu adalah munculnya seorang yang mengaku nabi, tapi nabi palsu.
Keyakinan/pengakuan ini adalah kekafiran yang nyata berdasarkan dalil-dalil
shahih.
Kafirnya
orang yang mengaku nabi dan orang yang membenarkannya merupakan perkara yang
telah disepakati oleh para ulama’ salaf, dan ulama-ulama setelahnya. Kenapa
kafir? Jawabnya, karena ia telah mendustakan firman Allah -Ta’ala,
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab : 40)
Allah
telah menyatakan bahwa tak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad SAW, sedang
orang yang mengaku nabi dan orang yang membenarkannya malah menyatakan bahwa
masih ada !! Ini adalah pendustaan dan kekafiran yang ada dalam hati mereka.
Rasulullah
SAW bersabda:
“Tak
akan tegak hari kiamat sampai ada beberapa kabilah di antara umatku akan
bergabung dengan orang-orang musyrikin; sampai ada beberapa kabilah di antara umatku
akan menyembah berhala. Sesungguhnya akan ada di antara umatku 30 tukang dusta,
semuanya mengaku bahwa ia adalah nabi. Akulah penutup para nabi, tak ada lagi
nabi setelahku”[1].
Nabi
SAW bersabda:
“Sesungguhnya
kerasulan dan kenabian telah terputus. Maka tak ada lagi rasul, dan nabi
setelahku”[2].
Selain
itu, dalam beberapa atsar dari sahabat menyebutkan bahwa Abu Bakr setelah
diangkat jadi khalifah, maka tugas yang pertama kali beliau laksanakan adalah
mengirim pasukan menuju Qabilah Bani Hanifah untuk memerangi orang-orang yang
murtad dari Islam yang dilakoni oleh Musailamah si Pendusta dan pengikutnya.
Inilah sebabnya para ulama’ kita dari zaman ke zaman mengeluarkan pernyataan
tegas kafirnya orang yang mengaku nabi, dan orang-orang yang membenarkannya,
baik dari kalangan pengikutnya, maupun dari luar pengikutnya.
Imam
Ahli Sejarah Islam, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Yasar
Al-Madaniy-rahimahullah- berkata, “Awal kemurtadan di kalangan bangsa Arab
adalah (terjadi pada diri) Musailamah di negeri Al-Yamamah pada Bani Hanifah,
Al-Aswad bin Ka’ab Al-Ansiy di negeri Yaman di masa hidupnya Rasulullah SAW.
Juga telah keluar Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadiy di kalangan Bani Asad dalam
keadaan mengaku nabi”[3].
Jadi,
di zaman para sahabat, mereka meyakini bahwa orang yang mengaku nabi dan
membenarkannya adalah kafir sehingga Abu Bakr mengirim pasukan untuk
memberangus mereka sebagaimana juga beliau mengirm pasukan menuju kaum yang
murtad akibat mengingkari wajibnya zakat.
Al-Imam
Asy-Syafi’y-rahimahullah- berkata, “Orang-orang yang murtad setelah wafatnya
Rasulullah SAW ada dua macam. (1) Di antaranya, ada suatu kaum yang kafir
setelah masuk Islam, seperti Thulaihah, Musailamah, Al-Ansiy, dan pengikut
mereka. (2) Di antaranya, ada suatu kaum yang berpegang dengan Islam, namun
mereka menahan (tak mau bayar) zakat”.
Kafirnya
orang yang mengaku nabi sudah menjadi aqidah yang jelas dan kokoh dalam hati
kaum muslimin. Oleh karena itu, dalam setiap kurun waktu para ulama’ kita tanpa
ragu telah menjelaskan kekafiran mereka.
Al-Qodhi
Abul Fadhl Iyadh bin Musa Al-Yahshobiy-rahimahullah- berkata, “Demikian pula
orang yang mengakui kenabian seorang bersama Nabi kita SAW, atau setelahnya,
seperti sekte Al-Isawiyyah dari kalangan Yahudi yang berpendapat khususnya
kerasulan Nabi Muhammad SAW pada orang Arab; seperti juga sekte bathiniyyah
Al-Khormiyyah yang berpendapat langgengnya kerasulan; seperti kebanyakan sekte
Rofidhoh (Syi’ah)yang berpendapat tentang keikutsertaan Ali bersama Nabi
Muhammad SAW dalam kerasulan, dan setelahnya… Demikian pula setiap orang yang
mengaku dapat wahyu di antara mereka, sekalipun ia tak mengaku nabi… Mereka ini
semuanya adalah kafir lagi mendustakan Nabi Muhammad SAW, karena beliau telah
mengabarkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelah
beliau; beliau juga telah mengabarkan dari Allah -Ta’ala- bahwa dia adalah
penutup para nabi, dan diutus kepada seluruh manusia.
Saking
jelasnya perkara tertutupnya pintu kenabian setelah Nabi Muhammad SAW, dan
kafirnya orang yang mengaku nabi, sampai di antara ulama’ kita ada yang mencap
kafir orang yang ragu, dan tak tahu bahwa pintu kenabian telah tertutup setelah
Nabi SAW .
Al-Allamah
Ibnu Nujaim Al-Hanafiy-rahimahullah- berkata, “Jika seseorang tak mengetahui
bahwa Muhammad SAW adalah nabi yang paling akhir, maka ia bukan muslim, karena
perkara seperti ini adalah termasuk perkara pasti (jelas)”.
Kekafiran
orang-orang yang mengaku nabi, dan juga orang-orang yang membenarkannya, sudah
disepakati oleh para ulama kita.
Al-Allamah
Ali Al-Qoriy-rahimahullah- berkata, “Pengakuan kenabian setelah Nabi kita SAW
merupakan kekafiran menurut ijma’.
Al-Imam
Mahmud Syukri Al-Alusiy-rahimahullah- berkata, “Kondisi Nabi Muhammad SAW
sebagai penutup para nabi termasuk perkara yang disebutkan oleh Al-Kitab,
dijelaskan oleh Sunnah, dan disepakati oleh ummat. Orang yang mendakwakan selain
ini, maka ia kafir; dibunuh jika ia tetap demikian”.
Muhammad
bin Alyusy Al-Malikiy berkata, “Seorang akan kafir karena ia mengaku ada
sekutu, yaitu seorang yang menyertai kenabian Nabi kita Muhammad SAW”.
Al-Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Jika seorang
mengaku nabi setelah Nabi kita SAW atau membenarkan orang yang mengaku nabi…,
maka semua ini adalah kekafiran”.
Al-Khothib
Asy-Syarbiniy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang meniadakan para rasul
seraya berkata, “Allah tidak pernah mengutus mereka”, atau ia meniadakan
kenabian seorang nabi, atau ia mengaku nabi setelah Nabi kita Muhammad SAW,
atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, atau ia berpendapat bahwa kenabian
bisa diusahakan, dan diraih tingkatannya dengan kesucian hati, atau ia (ngaku)
diberi wahyu, sekalipun tidak mengaku nabi…maka ia kafir”.
Al-Imam
Ibnu Qudamah Al-Hambaliy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang mengaku nabi
atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, maka ia sungguh telah murtad,
karena Musailamah tatkala ia mengaku nabi, lalu ia dibenarkan oleh kaumnya,
maka mereka menjadi murtad”.
Syaikhul
Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy-rahimahullah- berkata, “Sudah dimaklumi
bahwa barangsiapa yang berdusta atas nama Allah, seperti ia mengaku sebagai
rasulullah (utusan Allah) atau nabiyullah (nabi Allah) atau ia mengabarkan
berita (wahyu) dari Allah, ia dusta di dalamnya, seperti Musailamah, Al-Ansiy,
dan sejenisnya dari kalangan nabi-nabi palsu, maka sesungguhnya ia kafir halal
darahnya”.
Manshur
Al-Bahutiy Al-Hambaliy-rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang mengaku nabi
atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, maka ia kafir, karena ia telah
mendustakan Allah dalam firman-Nya, “tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab : 40)
dan telah mendustakan hadits yang berbunyi,”Tak ada lagi nabi setelahku”.
Inilah
beberapa fatwa ulama’ terdahulu yang menjelaskan kepada kita tentang bahaya
aqidah orang-orang yang mengaku nabi. Akibatnya seorang dengan pengakuan
seperti itu akan menjadi kafir, keluar dari agama Islam.
Sebenarnya
di sana masih banyak sederetan nama-nama ulama yang mutaqoddimin maupun mutakhirin
yang belum sempat disebutkan. Semoga apa yang dinukilkan berupa fatwa-fatwa
para ulama’ yang masyhur bisa menjadi penguat bagi orang-orang yang beriman,
dan batu sandungan yang membinasakan para dajjal cilik yang mengaku nabi,
sehingga mereka merasa berang, dan marah dengan ilmu yang kami sebar melalui
buletin ini. Mudah-mudahan tulisan ini merupakan wujud kepedulian kami terhadap
nasib, dan aqidah umat. Sebab sebagian orang dengki menuduh Ahlus Sunnah tak
punya kepedulian kepada umat.
C.
Sebab Penyimpangan
Aqidah
1.
Kebodohan
terhadap aqidah shahihah Karena tidak mahu (enggan) mempelajari dan
mengajarkannya, atau Karena kurangnya perhatian terhadapnya. Akibatnya, tumbuh
suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui
lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka meyakini yang hak sebagai sesuatu
yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang hak. Hal itu sebagaimana yang
pernah dikatakan oleh Umar r.a. yang artinya, “Sesungguhnya ikatan simpul Islam
akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh
tanpa mengenal kejahiliahan.”
2.
Fanatik
(ta’ashshub) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya,
sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahi, sekalipun hal itu
benar. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah
ayat 170, “Dan, apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan
mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa
pun, dan tidak mendapat petunjuk.”
3.
Taqlid buta,
dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui
dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya. Hal itu sebagaimana
yang terjadi pada golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Jahmiyah, dan lainnya.
Mereka bertaklid kepada orang-orang sebelum mereka dari para imam yang sesat,
sehingga mereka juga sesat, jauh dari aqidah yang lurus.
4.
Berlebihan
(ghuluw) dalam mencintai para wali dan orang-orang saleh, serta mengangkat
mereka di atas darjat yang semestinya atau terlalu mengagungkannya, sehingga
meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh
Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan mahupun menolak kemudaratan.
5.
Lalai (ghaflah)
terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat
kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitab-Nya (ayat-ayat
Quraniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil teknologi dan
kebudayaan, sampai-sampai mengira bahawa itu semua adalah hasil kreasi manusia
semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia serta menisbahkan seluruh
kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Hal ini
sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan, seperti dalam surah Al-Qashash
ayat 78, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada
padaku.” Dan, sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong, seperti dalam
surah Fushshilat ayat 50, “Ini adalah kepunyaanku ….”
6.
Mereka tidak
berfikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini
dan yang telah menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang
telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna
menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta memfungsikannya demi kepentingan
manusia. Perhatikan firman Allah.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.” (Ash-Shaffat ayat 96)
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, ….” (Al-A’raf: 185)
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan
air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai
buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendaknya dan dia telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan, Dia telah menundukkan (pula)
bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan
telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan, Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu)
dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 32–34).
D.
Contoh Aliran
Sesat
Abussalam
alias Ahmad Mushaddeq dan selanjutnya mendirikan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah,
sebenarnya sering ke Yogya. Pensiunan pegawai Dinas Olah Raga Pemprop DKI
Jakarta ini biasa menemui pengikutnya dalam pengajian di sebuah tempat kawasan
Jalan Kaliurang. Saya pernah bertemu pimpinan Al-Qiyadah Al-Islamiyah Mushaddeq
saat pengajian di Jl Kaliurang, kata Mgn, salah satu pengikutnya yang kini
diamankan di Mapolres Klaten. Mereka biasa mengadakan pertemuan kelompok di Jl
Kaliurang, biasanya berangkat sebanyak 20 orang dengan bus. Mereka juga
mengadakan pertemuan kelompok di tempat anggota secara bergiliran. Untuk
komunikasi mereka sering menggunakan layanan SMS. Ia meyakini isi Kitab Suci
Alquran, namun untuk salat dan zakat hukumnya tidak wajib. Selama mengikuti
aliran itu ia hanya mengerjakan salat sekali sebanyak maksimal 11 rekaat pada
malam hari antara pukul 23.00 hingga pukul 03.00 dinihari. Ia juga tidak
mengenal zakat, melainkan hanya sedekah. Ia juga mengakui adanya Nabi Muhammad,
namun bukan sebagai nabi terakhir. Menurutnya, nabi sekarang adalah Mushaddeq,
dan mungkin nantinya masih akan dibangkitkan nabi yang lain.
Di
tingkat internasional, ada nama Muhammad bin Ismail (nama agama: Ismailiyah),
Mirza Ghulam Ahmad (nama agama: Ahmadiyah), Mirza Ali Muhammad (nama agama:
Babiyah) atau Mirza Husain Ali Nuri (nama agama: Baha'iyah). Jangan lupa, Anda
juga bisa beriman kepada dua belas imam (atau salah satunya) dari sebuah agama
yang bernama Syiah. Adapun untuk nabi lokal, Anda boleh pilih Lia Aminuddin
(nama agama: Salamullah), atau yang baru-baru ini muncul, namanya Ahmad Moshadeq
dengan agama: Al Qiyadah Al Islamiyah. Tak lupa, di tingkat lokal ini Anda juga
punya pilihan Nur Hasan Ubaidah Lubis yang mengaku punya hadits layaknya
seorang nabi. Nama agamanya: LDII.
Syarat
pemilihannya tidak susah. Anda tinggal menyesuaikan pilihan tersebut dengan
hasrat ideologis, biologis termasuk (maaf) seksual Anda. Soalnya, nabi palsu
biasanya mengaku bisa menggugurkan peraturan agama dengan cara yang aman tanpa
dosa. Sampai-sampai hasrat seksual Anda boleh disalurkan tanpa melalui
pernikahan konvensional alias zina. Tentu dia tidak menyebutnya zina, melainkan
— misalnya — kawin mut’ah yang bisa dilakukan cukup satu malam saja. Tapi yang
lebih enak lagi kalau Anda mengikuti agama seperti Isma'iliyah dan sejenisnya
yang melakukan penafsiran esoteris (kebatinan) untuk menghapus aturan-aturan
Islam. Anda tak perlu lagi ‘repot-repot’ shalat, zakat, puasa dan menjauhi yang
haram-haram.
Setelah
itu, langkah berikutnya adalah Anda harus mengingkari Al Qur’an. Pertama,
karena dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Muhammad saw. adalah
nabi terakhir. Pernyataan ini akan berlawanan dengan keyakinan Anda terhadap
nabi baru yang telah datang. Kedua, karena tugas nabi adalah menerima wahyu,
berarti Anda tidak perlu lagi Al Qur’an sebagai wahyu. Wahyu yang turun pada
nabi baru akan menghapus Al Qur’an sehingga Anda cukup berpegang dengan wahyu
yang turun pada nabi Anda itu.
Berikutnya,
Anda harus mengingkari Nabi Muhammad saw., karena ajarannya dipastikan
bertentangan dengan ajaran nabi Anda itu. Apalagi nabi Anda memang harus
berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Kalau ajarannya sama dengan Nabi
Muhammad saw., untuk apa dia menjadi nabi? Selain itu, Nabi Muhammad saw.
sendiri sudah menyatakan “Tidak ada lagi nabi sesudahku” (H.R. Abu Dawud). Artinya,
menurut Anda Nabi Muhammad saw. itu telah berdusta, karena nyatanya nabi baru
telah muncul.
Lalu,
karena Anda sudah mengingkari Al Qur’an dan Rasulullah saw., Anda tinggal
mengingkari Islam, yaitu agama yang dibangun diatas dua sumber tadi. Ini aksiomatik.
Tak perlu penjelasan rumit. Kalau Anda berhasil menghancurkan fondasi, maka
sebuah bangunan sekokoh apapun akan rubuh.
Langkah
keempat, Anda harus menganggap semua orang di dunia (termasuk yang mengaku
Muslim) mulai dari Maroko, Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia hingga Papua
adalah kafir karena tidak mengakui nabi Anda itu. Termasuk yang kafir dalam
keyakinan Anda adalah semua anak pesantren, ormas Islam, MUI, Dewan Dakwah,
kampus-kampus di Timur Tengah seperti Al-Azhar Mesir dan Jamiah Islamiyah
Madinah Munawwarah bersama staf pengajar hingga rektornya, Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dan seluruh masyarakat muslim dan ulamanya di dunia ini.
Termasuk Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, kiai-kiai, DR. Yusuf al-Qaradhawi,
Syaikh Utsaimin dan Bin Baz, al-Albani, Wahbah Zuhaili, Said Tanthawi (rektor
Al-Azhar) dan lain-lain. Termasuk yang Anda kafirkan adalah penduduk dua tanah
suci Makkah dan Madinah bersama imam masjid dan ulamanya.
Masih
ada lagi. Anda juga harus menilai semua apa yang ditulis oleh para ulama dalam
Islam seperti hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, ilmu tafsir, ilmu kalam,
'ulumul qur’an dalam bentuk buku yang jumlahnya jutaan jilid itu adalah warisan
omong kosong dan sia-sia, karena semuanya ditulis berdasarkan keyakinan
kebenaran Al Qur’an, hadits dan Rasulullah saw.
Implikasi
ini akan terus berlanjut ke hal-hal lain lagi. Tapi, sampai disini saja rasanya
saya sudah takut membayangkan. Yang jelas, proses ini berlangsung secara logis
akibat mengimani nabi palsu tersebut.
Wajarlah
jika dalam kacamata Islam, tindakan nabi palsu adalah kriminalitas yang harus
dibasmi. Seperti Abu Bakar ra. yang membasmi nabi palsu Musailamah al-Kadzab di
Yamamah; pelakunya dihukum mati dan pendukungnya disuruh taubat. Kalau tidak
mau, dia juga dibunuh.
Mengapa?
Anda lihat sendiri hebatnya pelecehen terhadap Islam oleh nabi baru dan
pengikutnya diatas tadi. Si pengaku nabi dan para pengikutnya plus para
pembela, mengakumulasikan berbagai unsur kekufuran zindiq-satanic (Ibnu Qayyim
: Ad-Da’wa Dawa’) dalam bentuk yang paling ekstrim.
Ternyata,
jauh melampaui debat aqidah dan disiplin ilmu, keimanan terhadap nabi palsu
merupakan pemberontakan dan pencabutan Islam dari akar-akarnya sampai habis,
tuntas tak tersisa. Persoalan yang prinsipil ini nampaknya tidak disadari
banyak orang sehingga diskusi yang berlangsung lebih berkisar pada persoalan
perbedaan penafsiran mengenai dalil-dalil tentang nabi terakhir. Orang lupa,
sebelum menafsirkan argumen tentang nabi terakhir, logika penerimaan terhadap
nabi palsu itu otomatis merupakan logika pengingkaran terhadap Islam itu
sendiri. Disinilah nampaknya, Rasulullah tidak repot menjelaskan cara menyikapi
nabi palsu. Pesan beliau sangat singkat, “Ketahuilah, tiada lagi nabi
sesudahku!”. Karena beliau ingin kita menyikapi pasal kenabian secara
aksiomatik bahwa setiap orang yang mengaku nabi sesudahnya, pasti dia itu nabi
palsu. Ini bukan semata persoalan sah atau tidaknya nabi palsu, tapi lebih jauh
lagi, ini menyangkut legalitas Islam itu sendiri.
Dalam
pasal-pasal hukum positif dikenal delik mengenai pencemaran nama baik. Itu
sangat logis dan manusiawi. Di dunia ini tidak ada orang yang rela dirinya atau
ayahnya, atau ibunya untuk dihina. Orang Indonesia juga marah kalau presidennya
dihina. Padahal dalam ajaran Islam, Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw.
adalah nama-nama yang lebih dimuliakan dari orang tua atau pemimpin negara
sekalipun. Kalau orang Indonesia marah presidennya dihina, tentu mereka lebih
berhak marah kalau Allah, Al Qur’an dan Nabi Muhammad saw. dilecehkan.
Sepantasnya delik semisal pencemaran nama baik ini juga berlaku terhadap
pelecehan agama seperti itu.
Dalam
Islam ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah kemaslahatan
agama (hifzhud-diin). Kemaslahatan ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan
harta benda sekalipun. Makanya, Al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan
nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Australia misalnya,
maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya
nyawa. Jadi, nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan
tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.
Maka
dari itu, kalau unsur-unsur agama seperti Allah, Rasulullah, Al-Qur’an,
Al-Hadits dan hukum-hukum Islam dilecehkan, dalam pandangan Islam dan umatnya
pelecehan ini lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan. Inilah logika yang
tidak dipakai (mungkin dengan sengaja) oleh para pengikut dan pembela nabi
palsu, contohnya seperti yang tergambar dalam komentar Syafi'i Anwar dari The
International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) tentang nabi palsu dalam
acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta. Dia memandang, tindakan nabi
palsu dan pengikutnya bukanlah kriminalitas. Oleh karena itu dia tidak setuju
dalam hal ini pemerintah melakukan campur tangan melalui proses hukum. Tindakan
yang sama dilakukan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menjadi
induk dari komunitas ICIP tersebut. Ini logika yang aneh. Mengapa mencela
presiden (atau simbol negara lainnya) dianggap kejahatan tapi mencela Al-Qur’an
tidak jahat? Mengapa menginjak-injak merah-putih adalah kejahatan tapi
menginjak lafadz Allah tidak dianggap kriminal? Mengapa fitnah terhadap Pak
Harto atau seorang selebriti seperti Inul bisa diproses melalui jalur hukum,
sementara fitnah terhadap Allah dan Rasul-Nya yang berimplikasi luas terhadap
kehormatan ratusan juta manusia Indonesia bukan kejahatan dan tidak boleh
diproses secara hukum?
Dalam
tataran sosial, kasus nabi palsu jelas menyebabkan kejahatan terhadap keyakinan
masyarakat. Dalam bahasa langsung atau tak langsung, si nabi gadungan ini
memvonis atau mengejek keimanan ratusan juta muslim di Indonesia. Ini adalah
serangan terhadap keyakinan masyarakat yang akan memicu keresahan. Apalagi
terbukti pula penderitaan warga yang anggota keluarganya mengikuti nabi palsu.
Ini semua akan menyebabkan reaksi fisik yang berujung pada kerawanan sosial.
Kalau begitu, gerakan nabi palsu telah menjadi faktor instabilitas masyarakat.
Ini bukan lagi “kebebasan menyatakan pendapat”, tetapi berubah menjadi “kebebasan
mengganggu masyarakat”.
Akhirnya
kasus ini akan berakibat kekerasan fisik. Soalnya, masyarakat perlu melakukan
pembelaan keyakinan. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan agama memadai,
maka pembelaan keyakinan itu tidak bisa dilakukan secara ilmiah. Saat
keyakinannya diserang, otomatis fisiklah yang bermain. Ini bukan penindasan
terhadap minoritas. Justru minoritas itulah yang memprovokasi masyarakat
melalui propaganda, pencarian dukungan dan penyebaran faham sesat mereka.
Seandainya mereka membatasi penyebaran ajaran itu, tentu mereka tidak
dipermasalahkan.
Maka
dari itu, kekerasan masyarakat terhadap aliran sesat selama ini lebih sebagai
reaksi alamiah yang tidak mungkin dihindari. Daripada menyalahkan masyarakat
yang melakukan kekerasan, sebaiknya kelompok sesat itu dihimbau untuk tahu diri
dan menghargai keyakinan orang lain, bukannya malah dibela. Seandainya MUI
memfatwakan larangan anarkisme pun, belum tentu akan dituruti. Karena itu, yang
bijak adalah dilakukannya langkah hukum yang adil; hukum yang sanggup mencegah
wabah aliran sesat pengganggu stabilitas. Hukum yang berpihak kepada hajat
orang banyak, bukan hajat segelintir orang.
E.
Cara-Cara
Mengatasi Penyimpangan
Kembali
kepada kitabullah dan sunah Rasulullah saw. untuk mengambil aqidah shahihah,
sebagaimana para salafus saleh mengambil aqidahnya dari keduanya. Tidak akan
dapat memperbaiki akhir umat ini, kecuali apa yang telah memperbaiki umat
pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal
syubhah-syubhah mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, Karena siapa yang
tidak mengenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
Memberi
perhatian pada pengajaran pemahaman aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai
jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi
yang ketat dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang
bersih sebagai materi pelajaran, sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng
harus dijauhkan.
Menyebar
para dai yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf
serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.
Langkah-langkah
berikut juga dapat dilakukan agar kita tidak terjerumus ke dalam aliran-aliran
sesat:
BAB III
KESIMPULAN
Nabi-nabi palsu itu tidak lain adalah para oportunis yang mengira sakitnya
Rasulullah Saw adalah kesempatan emas untuk menampilkan diri mereka. Keengganan
memerangi nabi palsu, disamping tidak ada asasnya dalam sumber-sumber sejarah,
malah sebaliknya bertentang engan riwayat-riwayat yang ada.
Semua kaum yang telah kita pelajari sampai sekarang, mempunyai
beberapa sifat umum seperti: melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah,
menyekutukan-Nya, berlaku sombong di muka bumi, dengan sewenang-wenang
menguasai hak milik orang lain, cende-rung terhadap perilaku seksual yang
menyimpang, dan angkara murka. Sifat umum lainnya adalah penindasan dan
kesewenangan mereka ter-hadap kaum Muslim di sekitar mereka. Mereka mencoba
segala cara un-tuk mengintimidasi kaum Muslim.
Tidak satu pun dari hal-hal ini dapat menyelamatkan seseorang dari
hukuman dan azab Allah. Al Quran mengingatkan kita atas kenyataan ini:
“Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih
kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memak-murkannya
lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada
mereka rasul-rasul mereka dengan memba-wa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
tidak sekali-kali berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30: 9)
“Mahasuci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. Al
Baqarah, 2: 32)
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Tauhid 1
terbitan Yayasan Al-Sofwa, terjemahan dari At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal
al-’Aliy, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan
Buletin Jum’at
Al-Atsariyyah edisi 44 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu
Fauzan, bin
Shalih bin abdulah al-Fauzan. 2008. KITAB TAUHID 3. Jakarta : Darul Haq
www.radiomuslim.com
[1]
HR. Abu Dawud (4253), At-Tirmidziy (2219), Ahmad (22448), Ibnu Hibban (7238),
Al-Hakim (8390), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8397), dan Musnad Asy-Syamiyyin
(2690),Abu Nu’aim (2/289), dan Asy-Syaibaniy dalam Al-Ahad wa Al-Matsaniy
(456). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (5406)
[2]
HR. At-Tirmidziy (2272), Ahmad (13851), Al-Hakim (8178), Abu Ya’laa (3947), dan
Ibnu Abi Syaibah (30457). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih
Al-Jami’ (1627), dan Al-Irwa’ (8/128)
[3]
HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (16504)
0 Response to "Makalah Tentang Aliran Sesat Atau Nabi Palsu"
Post a Comment