Makalah Tentang Aliran Sesat Atau Nabi Palsu



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dari dulu hingga sekarang sangat marak sekali penodaan terhadap ajaran agama islam oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang berupaya sekuat tenaga untuk menebarkan paham-paham maupun pencucian otak untuk mendapatkan pengikut atau jama’ah. Kelompok-kelompok yang menodai agama islam sudah pasti merupakan aliran sesat karena telah keluar jalur dari jalan yang lurus menuju jalan yang sesat alias jalan yang salah.
Orang-orang yang mengikuti aliran sesat tersebut sangat kasihan sekali, karena mereka diperdaya oleh setan-setan dari golongan manusia untuk menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Orang-orang yang sesat yang memiliki pemahaman tidak sesuai dengan ajaran agama islam yang benar sudah pasti akan menjadi penghuni neraka. Jangan harap mendapatkan surga, tetapi mereka justru masuk neraka. Para pengikut aliran sesat hanya akan dijadikan alat untuk mewujudkan impian pemimpin dari aliran sesat tersebut.

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut
1.    Apa arti dari aliran sesat?
2.    Bagaimana pendapat ulama terkait aliran sesat atau nabi palsu ?
3.    Apa penyebab terjadinya penyimpangan aqidah?
4.    Bagaimana cara menangkal bahaya aliran sesat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Aliran Sesat
Aliran Sesat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah istilah khas dari kaum muslimin Indonesia untuk sebuah kelompok agama atau pemikiran yang menyatakan diri bagian dari Islam tetapi sebenarnya menyimpang dari Islam. Dikatakan sebagai “istilah khas” karena memang istilah ini bukan istilah resmi keagamaan Islam yang diturunkan dari al-Qur’an dan Hadist. Pengertian “sesat” dalam al-Qur’an dan Hadist berbeda dengan pengertian “sesat” dalam istilah “aliran sesat” yang dimaksud tulisan ini. Pengertian  sesat dalam al-Qur’an dan Hadist mencangkup semua jenis penyimpanan dari jalan yang lurus, baik dalam level kecil atau besar, disengaja atau tidak disengaja. Sementara pengertian “sesat” dalam istilah “aliran sesat” adalah penyimpangan dari dasar-dasar Islam (ushuluddin) yang di rumuskan oleh MUI pada tanggal 6 Nopember 2007,  ke dalam 10 kriteria, yaitu:
1.    Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun islam.
2.    Meyakini atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i.
3.    Meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an.
4.    Mengingkari otentisitas dan kebenaran al-Quran.
5.    Menafsirkan al-Quran tidak berdasar kaidah-kaidah tafsir.
6.    Mengingkari kedudukan hadist Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7.    Menghina, melecehkan dan/atau merendahkan Nabi dan Rasul.
8.    Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dana Rasul terakhir.
9.    Mengubah, menambah, dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at.
10.     Mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan seorang muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Kesepuluh maklumat yang dikeluarkan oleh MUI bukan tanpa dasar, bahkan dilandasi oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan Al Hadist serta bersesuaian dengan prinsip-prinsip Ahlussunah Wal Jama’ah.
B.  Fatwa Ulama Zaman tentang Kafirnya Orang Mengaku Nabi
Di zaman ini Allah menurunkan ujian keimanan bagi kaum muslimin untuk menguji siapakah di antara mereka yang beriman dengan benar, dan mana yang kafir atau munafik. Ujian itu adalah munculnya seorang yang mengaku nabi, tapi nabi palsu. Keyakinan/pengakuan ini adalah kekafiran yang nyata berdasarkan dalil-dalil shahih.
Kafirnya orang yang mengaku nabi dan orang yang membenarkannya merupakan perkara yang telah disepakati oleh para ulama’ salaf, dan ulama-ulama setelahnya. Kenapa kafir? Jawabnya, karena ia telah mendustakan firman Allah -Ta’ala,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab : 40)
Allah telah menyatakan bahwa tak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad SAW, sedang orang yang mengaku nabi dan orang yang membenarkannya malah menyatakan bahwa masih ada !! Ini adalah pendustaan dan kekafiran yang ada dalam hati mereka.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tak akan tegak hari kiamat sampai ada beberapa kabilah di antara umatku akan bergabung dengan orang-orang musyrikin; sampai ada beberapa kabilah di antara umatku akan menyembah berhala. Sesungguhnya akan ada di antara umatku 30 tukang dusta, semuanya mengaku bahwa ia adalah nabi. Akulah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku”[1].
Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus. Maka tak ada lagi rasul, dan nabi setelahku”[2].
Selain itu, dalam beberapa atsar dari sahabat menyebutkan bahwa Abu Bakr setelah diangkat jadi khalifah, maka tugas yang pertama kali beliau laksanakan adalah mengirim pasukan menuju Qabilah Bani Hanifah untuk memerangi orang-orang yang murtad dari Islam yang dilakoni oleh Musailamah si Pendusta dan pengikutnya. Inilah sebabnya para ulama’ kita dari zaman ke zaman mengeluarkan pernyataan tegas kafirnya orang yang mengaku nabi, dan orang-orang yang membenarkannya, baik dari kalangan pengikutnya, maupun dari luar pengikutnya.
Imam Ahli Sejarah Islam, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al-Madaniy-rahimahullah- berkata, “Awal kemurtadan di kalangan bangsa Arab adalah (terjadi pada diri) Musailamah di negeri Al-Yamamah pada Bani Hanifah, Al-Aswad bin Ka’ab Al-Ansiy di negeri Yaman di masa hidupnya Rasulullah SAW. Juga telah keluar Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadiy di kalangan Bani Asad dalam keadaan mengaku nabi”[3].
Jadi, di zaman para sahabat, mereka meyakini bahwa orang yang mengaku nabi dan membenarkannya adalah kafir sehingga Abu Bakr mengirim pasukan untuk memberangus mereka sebagaimana juga beliau mengirm pasukan menuju kaum yang murtad akibat mengingkari wajibnya zakat.
Al-Imam Asy-Syafi’y-rahimahullah- berkata, “Orang-orang yang murtad setelah wafatnya Rasulullah SAW ada dua macam. (1) Di antaranya, ada suatu kaum yang kafir setelah masuk Islam, seperti Thulaihah, Musailamah, Al-Ansiy, dan pengikut mereka. (2) Di antaranya, ada suatu kaum yang berpegang dengan Islam, namun mereka menahan (tak mau bayar) zakat”.
Kafirnya orang yang mengaku nabi sudah menjadi aqidah yang jelas dan kokoh dalam hati kaum muslimin. Oleh karena itu, dalam setiap kurun waktu para ulama’ kita tanpa ragu telah menjelaskan kekafiran mereka.
Al-Qodhi Abul Fadhl Iyadh bin Musa Al-Yahshobiy-rahimahullah- berkata, “Demikian pula orang yang mengakui kenabian seorang bersama Nabi kita SAW, atau setelahnya, seperti sekte Al-Isawiyyah dari kalangan Yahudi yang berpendapat khususnya kerasulan Nabi Muhammad SAW pada orang Arab; seperti juga sekte bathiniyyah Al-Khormiyyah yang berpendapat langgengnya kerasulan; seperti kebanyakan sekte Rofidhoh (Syi’ah)yang berpendapat tentang keikutsertaan Ali bersama Nabi Muhammad SAW dalam kerasulan, dan setelahnya… Demikian pula setiap orang yang mengaku dapat wahyu di antara mereka, sekalipun ia tak mengaku nabi… Mereka ini semuanya adalah kafir lagi mendustakan Nabi Muhammad SAW, karena beliau telah mengabarkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelah beliau; beliau juga telah mengabarkan dari Allah -Ta’ala- bahwa dia adalah penutup para nabi, dan diutus kepada seluruh manusia.
Saking jelasnya perkara tertutupnya pintu kenabian setelah Nabi Muhammad SAW, dan kafirnya orang yang mengaku nabi, sampai di antara ulama’ kita ada yang mencap kafir orang yang ragu, dan tak tahu bahwa pintu kenabian telah tertutup setelah Nabi SAW .
Al-Allamah Ibnu Nujaim Al-Hanafiy-rahimahullah- berkata, “Jika seseorang tak mengetahui bahwa Muhammad SAW adalah nabi yang paling akhir, maka ia bukan muslim, karena perkara seperti ini adalah termasuk perkara pasti (jelas)”.
Kekafiran orang-orang yang mengaku nabi, dan juga orang-orang yang membenarkannya, sudah disepakati oleh para ulama kita.
Al-Allamah Ali Al-Qoriy-rahimahullah- berkata, “Pengakuan kenabian setelah Nabi kita SAW merupakan kekafiran menurut ijma’.
Al-Imam Mahmud Syukri Al-Alusiy-rahimahullah- berkata, “Kondisi Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi termasuk perkara yang disebutkan oleh Al-Kitab, dijelaskan oleh Sunnah, dan disepakati oleh ummat. Orang yang mendakwakan selain ini, maka ia kafir; dibunuh jika ia tetap demikian”.
Muhammad bin Alyusy Al-Malikiy berkata, “Seorang akan kafir karena ia mengaku ada sekutu, yaitu seorang yang menyertai kenabian Nabi kita Muhammad SAW”.
Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarof An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Jika seorang mengaku nabi setelah Nabi kita SAW atau membenarkan orang yang mengaku nabi…, maka semua ini adalah kekafiran”.
Al-Khothib Asy-Syarbiniy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang meniadakan para rasul seraya berkata, “Allah tidak pernah mengutus mereka”, atau ia meniadakan kenabian seorang nabi, atau ia mengaku nabi setelah Nabi kita Muhammad SAW, atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, atau ia berpendapat bahwa kenabian bisa diusahakan, dan diraih tingkatannya dengan kesucian hati, atau ia (ngaku) diberi wahyu, sekalipun tidak mengaku nabi…maka ia kafir”.
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Hambaliy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang mengaku nabi atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, maka ia sungguh telah murtad, karena Musailamah tatkala ia mengaku nabi, lalu ia dibenarkan oleh kaumnya, maka mereka menjadi murtad”.
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy-rahimahullah- berkata, “Sudah dimaklumi bahwa barangsiapa yang berdusta atas nama Allah, seperti ia mengaku sebagai rasulullah (utusan Allah) atau nabiyullah (nabi Allah) atau ia mengabarkan berita (wahyu) dari Allah, ia dusta di dalamnya, seperti Musailamah, Al-Ansiy, dan sejenisnya dari kalangan nabi-nabi palsu, maka sesungguhnya ia kafir halal darahnya”.
Manshur Al-Bahutiy Al-Hambaliy-rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang mengaku nabi atau ia membenarkan orang yang mengaku nabi, maka ia kafir, karena ia telah mendustakan Allah dalam firman-Nya, “tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab : 40) dan telah mendustakan hadits yang berbunyi,”Tak ada lagi nabi setelahku”.
Inilah beberapa fatwa ulama’ terdahulu yang menjelaskan kepada kita tentang bahaya aqidah orang-orang yang mengaku nabi. Akibatnya seorang dengan pengakuan seperti itu akan menjadi kafir, keluar dari agama Islam.
Sebenarnya di sana masih banyak sederetan nama-nama ulama yang mutaqoddimin maupun mutakhirin yang belum sempat disebutkan. Semoga apa yang dinukilkan berupa fatwa-fatwa para ulama’ yang masyhur bisa menjadi penguat bagi orang-orang yang beriman, dan batu sandungan yang membinasakan para dajjal cilik yang mengaku nabi, sehingga mereka merasa berang, dan marah dengan ilmu yang kami sebar melalui buletin ini. Mudah-mudahan tulisan ini merupakan wujud kepedulian kami terhadap nasib, dan aqidah umat. Sebab sebagian orang dengki menuduh Ahlus Sunnah tak punya kepedulian kepada umat.

C.  Sebab Penyimpangan Aqidah
1.    Kebodohan terhadap aqidah shahihah Karena tidak mahu (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau Karena kurangnya perhatian terhadapnya. Akibatnya, tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga tidak mengetahui lawan atau kebalikannya. Akibatnya, mereka meyakini yang hak sebagai sesuatu yang batil dan yang batil dianggap sebagai yang hak. Hal itu sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar r.a. yang artinya, “Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliahan.”
2.    Fanatik (ta’ashshub) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang menyalahi, sekalipun hal itu benar. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170, “Dan, apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.”
3.    Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh kebenarannya. Hal itu sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan seperti Mu’tazilah, Jahmiyah, dan lainnya. Mereka bertaklid kepada orang-orang sebelum mereka dari para imam yang sesat, sehingga mereka juga sesat, jauh dari aqidah yang lurus.
4.    Berlebihan (ghuluw) dalam mencintai para wali dan orang-orang saleh, serta mengangkat mereka di atas darjat yang semestinya atau terlalu mengagungkannya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa mendatangkan kemanfaatan mahupun menolak kemudaratan.
5.    Lalai (ghaflah) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitab-Nya (ayat-ayat Quraniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahawa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka mengagung-agungkan manusia serta menisbahkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia semata. Hal ini sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan, seperti dalam surah Al-Qashash ayat 78, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, Karena ilmu yang ada padaku.” Dan, sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong, seperti dalam surah Fushshilat ayat 50, “Ini adalah kepunyaanku ….”
6.    Mereka tidak berfikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menimbun berbagai macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan kemampuan guna menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta memfungsikannya demi kepentingan manusia. Perhatikan firman Allah.
        “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat ayat 96)
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, ….” (Al-A’raf: 185)
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendaknya dan dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan, Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan, Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 32–34).
D.  Contoh Aliran Sesat
Abussalam alias Ahmad Mushaddeq dan selanjutnya mendirikan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, sebenarnya sering ke Yogya. Pensiunan pegawai Dinas Olah Raga Pemprop DKI Jakarta ini biasa menemui pengikutnya dalam pengajian di sebuah tempat kawasan Jalan Kaliurang. Saya pernah bertemu pimpinan Al-Qiyadah Al-Islamiyah Mushaddeq saat pengajian di Jl Kaliurang, kata Mgn, salah satu pengikutnya yang kini diamankan di Mapolres Klaten. Mereka biasa mengadakan pertemuan kelompok di Jl Kaliurang, biasanya berangkat sebanyak 20 orang dengan bus. Mereka juga mengadakan pertemuan kelompok di tempat anggota secara bergiliran. Untuk komunikasi mereka sering menggunakan layanan SMS. Ia meyakini isi Kitab Suci Alquran, namun untuk salat dan zakat hukumnya tidak wajib. Selama mengikuti aliran itu ia hanya mengerjakan salat sekali sebanyak maksimal 11 rekaat pada malam hari antara pukul 23.00 hingga pukul 03.00 dinihari. Ia juga tidak mengenal zakat, melainkan hanya sedekah. Ia juga mengakui adanya Nabi Muhammad, namun bukan sebagai nabi terakhir. Menurutnya, nabi sekarang adalah Mushaddeq, dan mungkin nantinya masih akan dibangkitkan nabi yang lain.
Di tingkat internasional, ada nama Muhammad bin Ismail (nama agama: Ismailiyah), Mirza Ghulam Ahmad (nama agama: Ahmadiyah), Mirza Ali Muhammad (nama agama: Babiyah) atau Mirza Husain Ali Nuri (nama agama: Baha'iyah). Jangan lupa, Anda juga bisa beriman kepada dua belas imam (atau salah satunya) dari sebuah agama yang bernama Syiah. Adapun untuk nabi lokal, Anda boleh pilih Lia Aminuddin (nama agama: Salamullah), atau yang baru-baru ini muncul, namanya Ahmad Moshadeq dengan agama: Al Qiyadah Al Islamiyah. Tak lupa, di tingkat lokal ini Anda juga punya pilihan Nur Hasan Ubaidah Lubis yang mengaku punya hadits layaknya seorang nabi. Nama agamanya: LDII.
Syarat pemilihannya tidak susah. Anda tinggal menyesuaikan pilihan tersebut dengan hasrat ideologis, biologis termasuk (maaf) seksual Anda. Soalnya, nabi palsu biasanya mengaku bisa menggugurkan peraturan agama dengan cara yang aman tanpa dosa. Sampai-sampai hasrat seksual Anda boleh disalurkan tanpa melalui pernikahan konvensional alias zina. Tentu dia tidak menyebutnya zina, melainkan — misalnya — kawin mut’ah yang bisa dilakukan cukup satu malam saja. Tapi yang lebih enak lagi kalau Anda mengikuti agama seperti Isma'iliyah dan sejenisnya yang melakukan penafsiran esoteris (kebatinan) untuk menghapus aturan-aturan Islam. Anda tak perlu lagi ‘repot-repot’ shalat, zakat, puasa dan menjauhi yang haram-haram.
Setelah itu, langkah berikutnya adalah Anda harus mengingkari Al Qur’an. Pertama, karena dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Muhammad saw. adalah nabi terakhir. Pernyataan ini akan berlawanan dengan keyakinan Anda terhadap nabi baru yang telah datang. Kedua, karena tugas nabi adalah menerima wahyu, berarti Anda tidak perlu lagi Al Qur’an sebagai wahyu. Wahyu yang turun pada nabi baru akan menghapus Al Qur’an sehingga Anda cukup berpegang dengan wahyu yang turun pada nabi Anda itu.
Berikutnya, Anda harus mengingkari Nabi Muhammad saw., karena ajarannya dipastikan bertentangan dengan ajaran nabi Anda itu. Apalagi nabi Anda memang harus berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Kalau ajarannya sama dengan Nabi Muhammad saw., untuk apa dia menjadi nabi? Selain itu, Nabi Muhammad saw. sendiri sudah menyatakan “Tidak ada lagi nabi sesudahku” (H.R. Abu Dawud). Artinya, menurut Anda Nabi Muhammad saw. itu telah berdusta, karena nyatanya nabi baru telah muncul.
Lalu, karena Anda sudah mengingkari Al Qur’an dan Rasulullah saw., Anda tinggal mengingkari Islam, yaitu agama yang dibangun diatas dua sumber tadi. Ini aksiomatik. Tak perlu penjelasan rumit. Kalau Anda berhasil menghancurkan fondasi, maka sebuah bangunan sekokoh apapun akan rubuh.
Langkah keempat, Anda harus menganggap semua orang di dunia (termasuk yang mengaku Muslim) mulai dari Maroko, Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia hingga Papua adalah kafir karena tidak mengakui nabi Anda itu. Termasuk yang kafir dalam keyakinan Anda adalah semua anak pesantren, ormas Islam, MUI, Dewan Dakwah, kampus-kampus di Timur Tengah seperti Al-Azhar Mesir dan Jamiah Islamiyah Madinah Munawwarah bersama staf pengajar hingga rektornya, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan seluruh masyarakat muslim dan ulamanya di dunia ini. Termasuk Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, kiai-kiai, DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Utsaimin dan Bin Baz, al-Albani, Wahbah Zuhaili, Said Tanthawi (rektor Al-Azhar) dan lain-lain. Termasuk yang Anda kafirkan adalah penduduk dua tanah suci Makkah dan Madinah bersama imam masjid dan ulamanya.
Masih ada lagi. Anda juga harus menilai semua apa yang ditulis oleh para ulama dalam Islam seperti hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, ilmu tafsir, ilmu kalam, 'ulumul qur’an dalam bentuk buku yang jumlahnya jutaan jilid itu adalah warisan omong kosong dan sia-sia, karena semuanya ditulis berdasarkan keyakinan kebenaran Al Qur’an, hadits dan Rasulullah saw.
Implikasi ini akan terus berlanjut ke hal-hal lain lagi. Tapi, sampai disini saja rasanya saya sudah takut membayangkan. Yang jelas, proses ini berlangsung secara logis akibat mengimani nabi palsu tersebut.
Wajarlah jika dalam kacamata Islam, tindakan nabi palsu adalah kriminalitas yang harus dibasmi. Seperti Abu Bakar ra. yang membasmi nabi palsu Musailamah al-Kadzab di Yamamah; pelakunya dihukum mati dan pendukungnya disuruh taubat. Kalau tidak mau, dia juga dibunuh.
Mengapa? Anda lihat sendiri hebatnya pelecehen terhadap Islam oleh nabi baru dan pengikutnya diatas tadi. Si pengaku nabi dan para pengikutnya plus para pembela, mengakumulasikan berbagai unsur kekufuran zindiq-satanic (Ibnu Qayyim : Ad-Da’wa Dawa’) dalam bentuk yang paling ekstrim.
Ternyata, jauh melampaui debat aqidah dan disiplin ilmu, keimanan terhadap nabi palsu merupakan pemberontakan dan pencabutan Islam dari akar-akarnya sampai habis, tuntas tak tersisa. Persoalan yang prinsipil ini nampaknya tidak disadari banyak orang sehingga diskusi yang berlangsung lebih berkisar pada persoalan perbedaan penafsiran mengenai dalil-dalil tentang nabi terakhir. Orang lupa, sebelum menafsirkan argumen tentang nabi terakhir, logika penerimaan terhadap nabi palsu itu otomatis merupakan logika pengingkaran terhadap Islam itu sendiri. Disinilah nampaknya, Rasulullah tidak repot menjelaskan cara menyikapi nabi palsu. Pesan beliau sangat singkat, “Ketahuilah, tiada lagi nabi sesudahku!”. Karena beliau ingin kita menyikapi pasal kenabian secara aksiomatik bahwa setiap orang yang mengaku nabi sesudahnya, pasti dia itu nabi palsu. Ini bukan semata persoalan sah atau tidaknya nabi palsu, tapi lebih jauh lagi, ini menyangkut legalitas Islam itu sendiri.
Dalam pasal-pasal hukum positif dikenal delik mengenai pencemaran nama baik. Itu sangat logis dan manusiawi. Di dunia ini tidak ada orang yang rela dirinya atau ayahnya, atau ibunya untuk dihina. Orang Indonesia juga marah kalau presidennya dihina. Padahal dalam ajaran Islam, Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. adalah nama-nama yang lebih dimuliakan dari orang tua atau pemimpin negara sekalipun. Kalau orang Indonesia marah presidennya dihina, tentu mereka lebih berhak marah kalau Allah, Al Qur’an dan Nabi Muhammad saw. dilecehkan. Sepantasnya delik semisal pencemaran nama baik ini juga berlaku terhadap pelecehan agama seperti itu.
Dalam Islam ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah kemaslahatan agama (hifzhud-diin). Kemaslahatan ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta benda sekalipun. Makanya, Al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Australia misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi, nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.
Maka dari itu, kalau unsur-unsur agama seperti Allah, Rasulullah, Al-Qur’an, Al-Hadits dan hukum-hukum Islam dilecehkan, dalam pandangan Islam dan umatnya pelecehan ini lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan. Inilah logika yang tidak dipakai (mungkin dengan sengaja) oleh para pengikut dan pembela nabi palsu, contohnya seperti yang tergambar dalam komentar Syafi'i Anwar dari The International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) tentang nabi palsu dalam acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta. Dia memandang, tindakan nabi palsu dan pengikutnya bukanlah kriminalitas. Oleh karena itu dia tidak setuju dalam hal ini pemerintah melakukan campur tangan melalui proses hukum. Tindakan yang sama dilakukan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menjadi induk dari komunitas ICIP tersebut. Ini logika yang aneh. Mengapa mencela presiden (atau simbol negara lainnya) dianggap kejahatan tapi mencela Al-Qur’an tidak jahat? Mengapa menginjak-injak merah-putih adalah kejahatan tapi menginjak lafadz Allah tidak dianggap kriminal? Mengapa fitnah terhadap Pak Harto atau seorang selebriti seperti Inul bisa diproses melalui jalur hukum, sementara fitnah terhadap Allah dan Rasul-Nya yang berimplikasi luas terhadap kehormatan ratusan juta manusia Indonesia bukan kejahatan dan tidak boleh diproses secara hukum?
Dalam tataran sosial, kasus nabi palsu jelas menyebabkan kejahatan terhadap keyakinan masyarakat. Dalam bahasa langsung atau tak langsung, si nabi gadungan ini memvonis atau mengejek keimanan ratusan juta muslim di Indonesia. Ini adalah serangan terhadap keyakinan masyarakat yang akan memicu keresahan. Apalagi terbukti pula penderitaan warga yang anggota keluarganya mengikuti nabi palsu. Ini semua akan menyebabkan reaksi fisik yang berujung pada kerawanan sosial. Kalau begitu, gerakan nabi palsu telah menjadi faktor instabilitas masyarakat. Ini bukan lagi “kebebasan menyatakan pendapat”, tetapi berubah menjadi “kebebasan mengganggu masyarakat”.
Akhirnya kasus ini akan berakibat kekerasan fisik. Soalnya, masyarakat perlu melakukan pembelaan keyakinan. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan agama memadai, maka pembelaan keyakinan itu tidak bisa dilakukan secara ilmiah. Saat keyakinannya diserang, otomatis fisiklah yang bermain. Ini bukan penindasan terhadap minoritas. Justru minoritas itulah yang memprovokasi masyarakat melalui propaganda, pencarian dukungan dan penyebaran faham sesat mereka. Seandainya mereka membatasi penyebaran ajaran itu, tentu mereka tidak dipermasalahkan.
Maka dari itu, kekerasan masyarakat terhadap aliran sesat selama ini lebih sebagai reaksi alamiah yang tidak mungkin dihindari. Daripada menyalahkan masyarakat yang melakukan kekerasan, sebaiknya kelompok sesat itu dihimbau untuk tahu diri dan menghargai keyakinan orang lain, bukannya malah dibela. Seandainya MUI memfatwakan larangan anarkisme pun, belum tentu akan dituruti. Karena itu, yang bijak adalah dilakukannya langkah hukum yang adil; hukum yang sanggup mencegah wabah aliran sesat pengganggu stabilitas. Hukum yang berpihak kepada hajat orang banyak, bukan hajat segelintir orang.

E.  Cara-Cara Mengatasi Penyimpangan
Kembali kepada kitabullah dan sunah Rasulullah saw. untuk mengambil aqidah shahihah, sebagaimana para salafus saleh mengambil aqidahnya dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini, kecuali apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal syubhah-syubhah mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, Karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
Memberi perhatian pada pengajaran pemahaman aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran, sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
Menyebar para dai yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah batil.
Langkah-langkah berikut juga dapat dilakukan agar kita tidak terjerumus ke dalam aliran-aliran sesat:


BAB III
KESIMPULAN
Nabi-nabi palsu itu tidak lain adalah para oportunis yang mengira sakitnya Rasulullah Saw adalah kesempatan emas untuk menampilkan diri mereka. Keengganan memerangi nabi palsu, disamping tidak ada asasnya dalam sumber-sumber sejarah, malah sebaliknya bertentang engan riwayat-riwayat yang ada.
Semua kaum yang telah kita pelajari sampai sekarang, mempunyai beberapa sifat umum seperti: melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah, menyekutukan-Nya, berlaku sombong di muka bumi, dengan sewenang-wenang menguasai hak milik orang lain, cende-rung terhadap perilaku seksual yang menyimpang, dan angkara murka. Sifat umum lainnya adalah penindasan dan kesewenangan mereka ter-hadap kaum Muslim di sekitar mereka. Mereka mencoba segala cara un-tuk mengintimidasi kaum Muslim.
Tidak satu pun dari hal-hal ini dapat menyelamatkan seseorang dari hukuman dan azab Allah. Al Quran mengingatkan kita atas kenyataan ini:
 “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memak-murkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan memba-wa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah tidak sekali-kali berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.” (QS. Ar-Ruum, 30: 9)
 “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. Al Baqarah, 2: 32)


DAFTAR PUSTAKA
Kitab Tauhid 1 terbitan Yayasan Al-Sofwa, terjemahan dari At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal al-’Aliy, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan
Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 44 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu
Fauzan, bin Shalih bin abdulah al-Fauzan. 2008. KITAB TAUHID 3. Jakarta : Darul Haq
www.radiomuslim.com


[1] HR. Abu Dawud (4253), At-Tirmidziy (2219), Ahmad (22448), Ibnu Hibban (7238), Al-Hakim (8390), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8397), dan Musnad Asy-Syamiyyin (2690),Abu Nu’aim (2/289), dan Asy-Syaibaniy dalam Al-Ahad wa Al-Matsaniy (456). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (5406)
[2] HR. At-Tirmidziy (2272), Ahmad (13851), Al-Hakim (8178), Abu Ya’laa (3947), dan Ibnu Abi Syaibah (30457). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (1627), dan Al-Irwa’ (8/128)
[3] HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (16504)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Tentang Aliran Sesat Atau Nabi Palsu"

Post a Comment

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah