Pola Penerimaan Pemerintah

1.    Pola Penerimaan Pusat
Dalam periode tahun 1967-1975 penerimaan pemerintah pusat meningkat dengan pesatnya yaitu kira-kira 10% atau menjadi lebih besar dari 20% dari Gross Domestic Product atau GDP serta hampir keseluruhannya berasal dari minyak (Anne Booth).Penerimaan negara ini dikelompokkan menjadi:
a)    Penerimaan dalam negeri bukan minyak,yang terbagi dalam:

1)    Pajak langsung;

2)    Pajak tidak langsung;dan

3)    Penerimaan bukan pajak

b)    Penerimaan pajak minyak.

c)    Penerimaan dari luar negeri seperti pinjaman dan bantuan.


Dalam periode ini,pemerintah belum melakukan pinjaman dari pihak perbankan seperti dengan penerbitan obligasi pemerintah.Dari kondisi ini,terlihat bahwa arah pola penerimaan pajak dalam periode 1967-1975 adalah:
a)    Peningkatan pajak atas perusahaan minyak.
b)    Masih rendahnya pajak dari bukan minyak.
c)    Sangat rendahnya pajak tidak langsung.
d)    Naiknya penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor.
Dengan usaha penyempurnaan kebijakan pajak,tahun 1990-an pola penerimaan pajak menjadi terbalik jika dibandingkan dengan periode 1967-1975,yaitu:
a)    Pajak atas perusahaan minyak menurun.
b)    Pajak bukan minyak meningkat.
c)    Pajak tidak langsung tidak turun.
d)    Penerimaan untuk bantuan proyek dan kredit ekspor turun pelan-pelan.




2.    Pola Penerimaan Daerah

•    Jenis Penerimaan Bagi Hasil Menurut UU No.25/1999

Penerimaan pemerintah pusat yang akan dibagi hasilkan ke pemerintah daerah menurut
UU No. 25/1999 terdiri atas dua macam: (1) penerimaan pajak dan (2) penerimaan negara
bukan pajak.2

a.    Penerimaan pajak yang dibagi-hasilkan

Yang utama, ada dua penerimaan pajak pusat yang dibagihasilkan kedaerah
dan telahmemiliki aturan yang jelas adalah

 (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan
(2) BeaPerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Mekanisme pembagian dari penerimaan pajak bumi dan bangunan adalah 10% untuk pemerintah pusat, 16% untuk propinsi, dan 65% untuk kabupaten/kota. Sedangkan 9% lainnya adalah kompensasi biaya penarikan.

Untuk BPHTB, berdasarkan PP No. 33/1997 pasal 2, pemerintah pusat mendapatkan bagian sebesar 20% dari total penerimaan BPHTB dan 80% lainnya merupakan bagian daerah yaitu 16% untuk propinsi dan 64% untuk kabupaten/kota.

Selain kedua pajak di atas, jenis pajak lainnya yang dibagihasilkan antara propinsi dan kabupaten/kota adalah pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

Berdasarkan PP No.21/1997 bab 2 pasal 7, propinsi mendapat bagian 10% dari total penerimaan pajak bahan bakar bermotor sedangkan 90% lainnya disalurkan ke kabupaten/kota.

Mekanisme pembagian antar kabupaten/kota didasarkan atas panjang jalan.Dalam rapat dengan DPR RI pada pertengahan bulan Juli 2000, disetujui kebijakan bagi hasil yang berasal dari pajak penerimaan perseorangan antara pusat dan daerah. Dalam usulan yang diajukan oleh Menteri Keuangan dan disetujui DPR, disepakati bahwa untuk pajak penerimaan perseorangan akan dibagihasilkan dengan perimbangan sebagai berikut:

pusat akan memperoleh 80%, sedangkan daerah akan memperoleh 20%. Walaupun demikian, belum ditindak lanjuti lebih lanjut peraturan yang mengatur bagaimana distribusi bagian daerah tersebut kepada daerah-daerah non-penghasil serta ke propinsi.

Kemungkinan besar pajak penerimaan perseorangan yang dibagikan ke daerah ini akan juga menjadi penerimaan pajak penting bagi daerah, selain penerimaan bagi hasil dari pajak PBB dan BPHTB.

b.    Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibagi-hasilkan

Saat ini PNBP yang dibagihasilkan ke daerah hanyalah PNBP yang berasal dari penerimaan sumber daya alam. Karenanya, PNBP yang dibagihasilkan ke daerah inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. PNBP ini terdiri dari PNBP sumber daya alam minyak bumi, gas alam, kehutanan,pertambangan umum dan perikanan.Untuk kehutanan dan pertambangan umum, penerimaan negara dari sumber daya ini
diatur berdasarkan prinsip besarnya produksi ataupun luas area, khususnya melalui pengenaan royalti dan land rent. Penerimaan negara yang berasal dari minyak bumi dan gas alam diatur berdasarkan prinsip NOI (Net Operating Income). Untuk perikanan,penerimaan negara diatur berdasarkan nilai ekspor ikan dan license fee usaha perikanan.

I.    Minyak Bumi dan Gas Alam

Sebelum UU No. 25/1999, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari minyak bumi dan gas alam tidak dibagihasilkan. Saat ini, berdasarkan UU No. 25/1999, penerimaan negara dari minyak bumi akan diberikan ke daerah sebesar 15%-nya dan 85%-nya untuk pemerintah pusat. Dari 15% bagian pemerintah daerah tersebut, 3% untuk propinsi, 6% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi tersebut.

Untuk penerimaan negara dari gas alam, menurut UU No.25/1999, sebesar 30% untuk pemerintah daerah dan 70% untuk pemerintah pusat. Dari 30% bagian pemerintah daerah ini, 6% untuk propinsi, 12% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 12% untuk kabupaten/kota lainnya di propinsi tersebut.

Penerimaan minyak bumi dan gas alam yang dibagihasilkan ke daerah adalah penerimaan pemerintah dari kontraktor (production sharing contractor dan joint operation body) yang telah dikurangi pajak, baik pajak pemerintah pusat (pajak badan/corporate tax,pajak penghasilan, Pajak Bunga Dividen dan Royalti/PBDR), retribusi/pajak daerah (PBB, PPN), dan retensi Pertamina. Sebenarnya, penerimaan pemerintah dari minyak bumi dan gas alam ini selain berasal dari kontraktor, ada juga yang berasal dariPertamina. Namun untuk penerimaan yang berasal dari Pertamina, belum jelas akan dibagihasilkan juga atau tidak, karena menurut UU No.8/1971 tentang Pertamina, bagian yang diserahkan ke pemerintah adalah sebesar 60% dari keuntungan dan dikategorikan sebagai penerimaan pajak.

II.    Pertambangan umum

Di sektor pertambangan umum, terdapat iuran pertambangan yang telah dibagihasilkan ke daerah sebelum UU No. 25/1999 diberlakukan. Pada awalnya aturan iuran pertambangan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.32/1969 pasal 62, yang kemudian mengalami perubahan dengan ditetapkannya PP No. 79/1992. Iuran pertambangan yang dimaksud disini adalah penerimaan pemerintah dari iuran tetap (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti).Mulanya dalam PP No. 32/1969 pasal 62, bagian pemerintah pusat adalah 30% sedangkan pemerintah daerah mendapat bagian 70% dari total iuran pertambangan.Selanjutnya dalam PP No.79/1992, perimbangan tersebut berubah dimana porsi daerah meningkat. Pemerintah pusat mendapat bagian 20%, sedangkan 80% sisanya dibagikan ke daerah dengan perincian sebagai berikut: propinsi mendapat bagian 16% dan Daerah Tingkat (Dati) II mendapat bagian 64%. Dalam peraturan terbaru yaitu UU No.25/1999,aturan pembagian tidak jauh berbeda dengan peraturan sebelum.Perbedaan terletak pada (1) pemisahan penerimaan dari royalti dan iuran tetap (landrent) dan (2) perimbangan bagi hasil antara propinsi dan kabupaten/kota untuk iuran-iuran tersebut.

3.    Penghasilan Pemerintah dari Inflasi


Inflasi di Indonesia akan dikendalikan di bawah 10% merupakan komitmen pemerintah.Hal ini disebabkan karena dalam tiga bulan awal tahun 1993 sudah menunjukkan angka 6,44%.Ini berarti tinggal 3,56% lagi untuk mencapai “double digit”.
Ada yang mensinyalir tingginya laju inflasi selama tiga bulan di awal tahun 1993 ini karena kebijaksanaan pemerintah dalam hal pengenaan tarif,kenaikan gaji PNS/ABRI,percetakan uang baru pecahan Rp. 50.000,00 dan sebagainya.Bahkan ada yang menyebut bencana alam seperti banjir,tanah longsor dan lainnya sebagai penyebab inflasi tersebut.Ada pula yang masih takut akan adanya ekspansi moneter menyebabkan inflasi.

Adapun laju inflasi selama 3 bulan pertama di tahun 1993 sudah mencapai 6,44% .apakah ini akan berakibat bahwa laju inflasi di akhir 1993 akan melebihi angka 10%.Nampaknya pemerintah tidak akan membiarkan angka tersebut meloncat,sehingga pemerintah dengan berbagai jurus kebijaksanaannya mencoba menghambat tersebut.Hal ini dilakukan mengingat dampak inflasi yang bersegi banyak.Artinya menyangkut bidang sosial,ekonomi,politik dan sebagainya.

Dari segi penerimaan pemerintah dalam artian “seigniorage” ada kecurigaan bahwa pemerintah mengalami kesulitan sehingga perlu menginflasikan perekonomian.


Referensi    :

1)    Sudirman,I wayan.2011.Kebijakan fiskal dan moneter.Cetakan pertama,Kencana Prenada Media Group,Jakarta.

2)    http//pola penerimaan pemerintah.com

3)    http//pola penerimaan pemerintah pusat.com

4)    http.pola penerimaan daerah.com

5)    http.penghasilan pemerintah dari inflasi.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pola Penerimaan Pemerintah"

Post a Comment

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah