Tantangan Perkembangan Perbankan Syariah

1. Regulasi
Dalam Harahap (2003) disebutkan bahwa Undang-undang dan peraturan yangberlaku di Bank Syariah berjalan beiringan. Namun sebenarnya regulasi dalam perbankansyariah di Indonesia masih berdasarkan sistem sekuler. Setelah pendirian Bank Syariah pertama tahun 1992, Bank Indonesia membentuk Biro perbankan Syariah yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi Bank Syariah, baik dari aspek perbankan maupun dari aspek syariah. Meskipun sudah ada Biro Perbankan Syariah, regulasi mengenai operasi perbankan syariah masih menggunakan aturan umum dalam perbankan konvensional, kecuali dalam beberapa hal. Permasalahan utamanya adalah pada sebuah aturan mengenai dual banking sistem. Menurut cetak biru Perbankan Syariah yang dikembangkan di Indonesia, Bank Syariah seharusnya memiliki Undang-undang Perbankan Syariah yang memisahkan dan berbeda dari Undang-Undang Bank Konvensional.
Dalam upaya mengembangkan sistem perbankan syariah yang sehat dan amanah
serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh sistem perbankan syariah Indonesia, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011, sebagaimana termaktub dalam Cetak Biru tersebut, adalah (Biro Perbankan Syariah BI, 2002):
1. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan;
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah;
3. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; serta
4. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas.


Beberapa sasaran diatas menjadi tantangan bagi praktisi, regulator maupun masyarakat umum untuk terus berupaya saling bekerjasama dalam usaha peningkatan Perbankan Syariah di Indonesia.

2. Diversifikasi Produk
Dalam berhubungan dengan nasabah pembiayaan, produk dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi diberikan produk jual beli, seperti Murabahah, Salam dan Istisna. Karena dalam produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang, kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan sebagainya. Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah dapat dilihat, bank  kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena sepenuhnya ditanggung
oleh bank.
Kredibilitas, integritas dan akuntibilitas nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk ini nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya, yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya diberikan
untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet. Permasalahan terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya, seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi sumber
diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih mengedepankan
budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk pembiayaan dengan jangka waktu
lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat mengembalikan dana pembiayaan
dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil perkebunan baru dapat dinikmati setelah
5 tahun (Hakim, 2008). Ini berarti bahwa produk syariah harus diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di daerah perkotaan, orang lebih
suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail. Dalam Arifin (2003) disebutkan bahwa
sepanjang praktik Perbankan Konvensional tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam maka Bank Syariah dapat mengadopsi sistem dan prosedur perbankan yang ada.

3. Penentuan Harga (Pricing)
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Dalam Hakim (2008) untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12 persen. Lebih lanjut Hakim (2008) tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah
timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum.
Menurut Hakim (2008) dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad. Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 persen per annum dari harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya tidak lagi sebesar harga beli ditambah 24 persen, tetapi harga beli ditambah 30 persen. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.

4. Sumber Daya Manusia
Keluarnya fatwa haram suku bunga bank pada tahun 2003, menggerakkan sejumlah bank konvensional untuk membuka windows syariah. Seperti yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas), pihak managemen bank konvensional bersikap pragmatis. Jika tuntutan publik secara luas menghendaki sistem syariah, pihak bank akan berusaha menyesuaikan kebutuhan itu sebagai sebuah tuntutan pasar yang memang harus diikuti. Persoalannya hanya teknis dan itu bisa dipelajari dan diaplikasikan.
Dengan sikap pragmatis seperti ini, maka banyak bankir konvensional yang di training kilat untuk menjalankan sistem syariah. Padahal untuk menjadi bankir di perbankan syariah, idealnya, tidak hanya menguasai hal teknis namun juga mampu memasukkan ruh islam dalam perilaku sehari-hari, baik sebagai bankir maupun sebagai individu di masyarakat. Hasilnya masih banyak Sumber Daya Insani yang merupakan produk instan guna menjawab permintaan pasar. Namun disatu sisi perbankan Indonesia masih minim Sumber Daya Insani yang bukan hanya berjilbab saat memberikan pelayanan, namun juga berjilbab hati dan jiwanya, bukan hanya SDI yang mampu mempraktikkan teknik-teknik pembiayaan perbankan syariah namun juga paham mengenai dasar-dasar penetapan akad dan hakikat penerapan akad yang sesuai dengan syariah. Masih minimnya Sumber Daya Manusia yang berkualitas ini menjadi sebuah tantangan bagi pihak perbankan. Untuk menjawab tantangan ini semua stakeholeder diharapkan mampu bekerjasama sehingga kebutuhan dunia Perbankan Syariah terhadap SDM dapat terpenuhi baik dari sisi kulitas maupun kuantitasnya. Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat prioritas tinggi. Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan konferensi untuk membahas isu (Omar dan Ghazali, 1992).

KESIMPULAN
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan syariah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di perbankan konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang
paling jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan. Untuk itu perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi dan ilmu agama dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan syariah semata, tapi tugas umat Islam secara nasional.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tantangan Perkembangan Perbankan Syariah"

Post a Comment

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Artikel

Iklan Artikel Bawah