Resume Filsafat Umum (Pengaruh Hellenistik Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Pendidikan Islam)
A.
Fase Hellenisme
Fase
hellenisme ialah fase ketika pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang
Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 sebelum masehi sampai akhir abad ke-4
sesudah masehi. Adapun fase hellenisme Romawi (Greko Romawi) ialah fase yang
datng sesudah fase Hellenisme, dan meliputi semua pemikian filsafat yang ada
pada masa kerajaan Romawi, yang ikut serta membicarakan peninggalan pemikiran
Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran di Timur yang ada
di Mesir dan Siria. Fase ini di mulai dari akhir abad ke-4 sebelum Masehi
sampai pertengahan abad ke-6 Masehi di Bizantium dan Roma
, atau sampai
pertengahan abad ke-7 Masehi di Iskandariah, atau sampai abad ke-8 Masehi di
Siria dan Irak, yaitu aliran Urfa, Ar-Ruha, Nisssibis, dan Antiochia, atau
sampai masa penerjemahan di dunia Arab. Kedua fase tersebut mempunyai ciri khas
tersendiri.[1]
Dalam perkembangan masa Helen-Romana, ilmu pengetahuan disipliner dan applied
science semakin menguat. Karena orang merasakan manfaat ilmu terhadap
kehidupan, berbeda dengan filsafat yang lebih banyak membingungkan. Ilmu
matematika, ilmu alam, gramatika, filologi, sejarah kesustraan dan sejarah umum
besar sekali manfaatnya. Oleh karena itu, filsafat terus tergeser.
Baru pada bagian kedua dari masa filsafat Helen-Romana timbul lagi perubahan
pandangan. Orang-orang kembali berpaling kepada sistem metafisika yang bercorak
keagamaan. Tindakan balatentara Roma yang keras dan ganas telah memperkuat rasa
perikemanusiaan dalam daa manusia. Disamping itu, dipupuk pula oleh berbagai
macam agama lama, agama Budha, dan agama Kristen yang baru mulai berkembang.
Oleh karena itu, ajaran filsafat dan ajaran agama berbaur.[2]
B.
Pengertian Hellenistik
Di antara ahli sejarah dan filsafat ada yang menggambarkan perkembangan
bangsa dan Negara bagaikan rentangan perjalanan hidup manusia.
Hellenisme (yang berasal dari kata hellenizein=berbahasa Yunani, dan
juga menjadikan Yunani) adalah roh dan kebudayaan Yunani, yang sepanjang roh
dan kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani
di sekitar Lautan Tengah, mengadakan perubahan-perubahan di bidang
kesusasteraan, agama dan keadaan bangsa-bangsa itu.
Pada masa Hellenisme terjadi transformasi pemikiran filsafat yang ditandai dengan
perubahan bentuk filsafat dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan
membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup. Berbagai aliran yang muncul
pada saat itu yang kesemuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita hidup
manusia. Ada aliran-aliran Etis yang menentukan yang menekankan pada
persoalan-persoalan kebijaksanaan hidup yang praktis disamping juga ada
aliran-aliran yang diwarnai pemikiran keagamaan. Yang termasuk aliran yang
bersifat Etis di antaranya adalah aliran Stoa dan Epikuros, sedangkan yang
termasuk aliran yang diwarnai agama, diantaranya adalah: filsafat
Neophytagoras, filsafat Plotinus Tengah, filsafat Yahudi dan Neoplatonisme.[3]
Zaman Hellenisme adalah zaman keemasan kebudayaan Yunani. Tokoh yang berjasa
dalam pengembangan kebudayaan Yunani ini adalah Iskandar Agung (356-323 SM)
dari Macedonia, salah seorang murid Aristoteles. Akibat ekspansi besar-besaran
yang dilakukannya, kebudayaan Yunani dengan cepat tersebar memasuki wilayah
Persia, Irak, Mesir, Suriah, Yudea, India, dan Asia Tengah. Pada masa
Hellenisme ini terdapat tiga aliran filsafat yang menonjol, yaitu (1)
Stoisisme; (2) Epikurisme; dan (3) Neoplatonisme. Di samping ketiga aliran
tersebut, sebenarnya terdapat pula gerakan berpikir yang disebut Skeptisisme
dengan pelopornya Pyrrho (365-275 SM) dan Elektisisme oleh Cicero (106-43 SM).[4]
Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafati, yaitu dari filsafat yang
teoritis menjadi filsafat yang praktis. Filsafat makin lama makin menjadi suatu
seni hidup. Orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal dan
rasionya. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup
manusia. Ada aliran-aliran yang bersifat etis, yang menekankan kepada
persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis, dan ada
aliran-aliran yang diwarnai oleh agama. Yang termasuk aliran-aliran yang
bersifat etis di antaranya adalah aliran Epikuros dan Stoa, sedang yang
termasuk airan yang diwarnai agama, diantaranya adalah: filsafat Neophytagoras,
filsafat Platonis Tengah, filsafat Yahudi dan Neoplatonisme.[5]
Filsafat hellenistik adalah periode dalam filsafat Barat yang berkembang pada
masa Plato hingga masa Neoplatonisme. Adapun filsafat yang berkembang pada periode
itu adalah sebagai berikut.
1. Platonisme.
Filsafat ini merupakan pemikiran yang dikembangkan oleh filsuf Plato dan
murid-muridnya. Konsep intinya adalah teori Tuhan sebagai Realitas Hakiki,
Transenden, dan Sempurna yang tercermin dalam realitas dunia yang semu.
2. Peripatetisisme.
Filsafat ini adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Aristoteles. Konsep
intinya adalah semangat untuk mencari kebenaran dengan penelitian pada fenomena
yang di dunia ini dengan tujuan untuk memahami fondasi pengetahuan tentang
fenomena itu. Ajaran ini juga mendorong untuk berperilaku bijak dengan
mengambil posisi moderat, antara terlalu sedikit dan terlalu banyak, agar
mencapai hidup bahagia.
3. Sinisme.
Filsafat ini adalah suatu ajaran hidup dengan tokohnya, filsuf Diogenes.
Inti ajarannya adalah penolakan terhadap kemewahan, kekuasaan, popularitas
duniawi, dan membebaskan ddiri dari kepemilikan.
4. Cyrenaisisme.
Filsafat ini adalah ajaran hidup yang bersifat ultrahedonisme dengan filsuf
Aristippus dari Cyrene. Inti ajarannya adalah kenikmatan sebagai hal yang
paling penting dan utama untuk dikejar dan diperjuangkan. Ajaran ini kemudian
berkembang ke arah yang lebih moderat, yaitu Epikureanisme.
5. Epikureanisme.Filsafat
adalah modifikasi dari Cyrenaisisme dengan Hedonisme yang dipahami sebagai
penghilang rasa sakit dengan kenikmatan yang diperoleh dari jalan kesederhanaan
dalam hidup di dalam lingkungan teman-teman yang memiliki idealisme yang sama.
6. Stoisisme.
Ajaran yang dikembangkan oleh Zeno dari Citium. Inti ajarannya adalah
ajakan untuk hidup sesuai dengan alam. Ajaran ini mendorong pengendalian diri
terhadap amarah (destructive emotion)
7. Pyrrhonisme
atau sering disebut Skeptisisme.Ajaran ini menyatakan bahwa nilai
kebenaran filsafat tidak dapat dipastikan benar atau salahnya (skeptis total).
Pendapat ajaran ini adalah orang yang skeptis secara total terhadap pandangan
bahwa kebenaran akan mencapai kedamaian pikiran (atanxia). Manusia
dilarang untuk menilai benar atau salah dengan tujuan ketenangan pikiran. Tokoh
utama ajaran ini adalah Pyrrho dan Sextus Empiricus.
8. Eklektisisme.
Sistem filsafat ini mengajak untuk mengevaluasi berbagai aliran pemikiran
yang ada untuk kemudian mengambil yang paling sesuai. Tokoh utama ajaran ini
adalah Cicero.
9. Hellenistik
Yahudi dengan tokoh Philo.
10. Neopythagoreanisme.
Ajaran ini merupakan modifikasi ajaran Pythagoras dengan memasukkan unsur
agama, yaitu penyembahan pada Tuhan dengan tetap hidup sederhana, mengabaikan
kenikmatan duniawi untuk kesucian jiwa. Tokoh utamanya, antara lain adalah
Apolloius dan Numenius.
11. Hellenistik
Kristen. Ajaran ini merupakan perpaduan filsafat Yunani dengan ajaran
Kristen, hasilnya adalah penyajian ajaranKristen dengan kerangka berpikir
filosofis. Tokoh penting ajara ini adalah Santo Agustinus dari Hippo.
12. Neoplatonisme.
Ajaran ini adalah ajaran Plato yang ditambah unsur mistik. Ajaran ini
dikembangkan oleh Plotinus pada abad 3 M. Inti ajaran ini adalah kepercayaan
pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber alam semesta dengan ajaran meditasi
untuk penyatuan jiwa dengan Tuhan.[6]
C.
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara
sistematis.[7]Istilah ilmu
pengetahuan atau sains (science) digunakan untuk menunukkan pada dua
dimensi pengertian, yaitu pengertian sains dan pengertian dinamis. Pengertian
statis merujuk kepada kumpulan pengetahuan yang ersusun secara sistematis
sebagai hasil dengan penemuan metode ilmiah. Pengertian dinamis memandang ilmu
pengetahuan sebagai metode peneemuamn itu sendiri.
Pengertian dinamis di samping menunjukkan proses penemuan ilmu pengetahuan,
juga menunjukkan pada hasil penemuannya. Definisi ilmu pengetahuan menurut
pengertian dinamis ini adalah suatu metode dalam menganalisis berbagai
fenomena, yang dilakukan secara sistematis, obyektif dan logis untuk
pengumpulan pengetahuan yang andal. Batasan ini mengandung makna, bahwa ilmu
pengetahuan merupakan suatu bentuk atau cara menganalisis fenomena yang
bersifat sistematis. Sasaran akhir analisis fenomena inni adalah untuk
pengumpulan pengetahuan yang andal (relliabel), baik berupa fakta,
hukum, dan teori-teori berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Keandalan
ilmu pengetahuan mengandung arti dapat diuji kembali oleh siapapun dengan
hasil yang relatif tetap. Untuk mendapatkan pengetahuan yang andal ini upaya
yang dilakukan menempuh prosedur yang teliti dan hati-hati yang dilakukan
secara cermat.
Ilmu
pengetahuan ditinjau dari segi filsafat, ilmu pengetahuan memiliki pengertian
yang lebih luas dri sekedar ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan berguna
untuk memahami proses penetahuan berbagai macam hal didalam ilmu pengetahuan.
Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa problematika di dalam ilsafat ilmu
pengetahuan tidak dapat dipahami secara memadai terpisah dari sejarah ilmu
pengetahuan. Walapun begitu, kedua bidang ini harus tetap dipisahkan.
Filsafat ilmu
pengetahua buknlah komologi atau filsafat spekulatif tentag alam. Kosmologi
adalah ilmu pengetahuan yang berupaya melakukan spekulasi pemikiran tentang
proses penciptaan alam semesta, hakekat dan tujuan dari alam semesta, serta
arti dari alam semesta itu sebagai keseluruhan. Kita bisa mengambil contoh
tentang pandangan kosmologi spekulatif dari emikiran Hegel dan Whitehead. Hegel
berpendapat bahwa alam semesta memilikii karakter yang dialektis. Sementara
pada pemikiran Whitehead, alam semesta dipandang sebagai suatu bentuk
organisme. Pemikiran-pemikiran semacam itu seringkali imajinatif, spekulatif,
dan sangat bersifaat antroposentrik.
Filsafat ilmu
pengetahuan juga bukan sosiologi pengetahuan ataupun psikologi pengetahuan.
Secra umum, filsafat ilmu pengetahuan adalah sebuah upaya untuk memahami makna,
metode, struktur logis dari ilmu pengetahuan. Supaya lebih fokus, marilah kita
pertegas beberapa ilmu pengetahuan.
Ada berbagai
konsep yang digunakan secara khusus oleh seorang ilmuan, tetapi tidak
dianalisis oleh ilmuan tersebut. Misalnya, ilmuan seringkali menggunakan
konsep-konsep seperti kasualitas, hukum, teori, dan etode. Selain itu ada
konsep lainnya yang berbeda dari apa yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga
tidak menjadi obyek analisis kritis dari ilmuan. Ilmuan seringkali menggunakan
lat-alat seperti sekala, statistik, dan gelas kimia. Benda-benda ini adalah
benda-benda yang dapat diamati.
Filsafat ilmu
pengetahuan memiliki perbedaan dengan sejarah ilmu pengetahuan. Meskipun
demikian, kita tidak akan memahaami dan menghargai yang stu tanpa yang lainnya.
Dengan kata lain, filsafat ilmu baru dapat dipahammi sungguh-sungguh jika refleksi
tentang sejarah ilmu pengetahuan telah dilaksanakan sebelumnya. Ada dua alasan
untuk hal ini.
Pertama,
perkembangan ilmu pengetahuan mencerminkan pemahaman tentang realitas pada
waktu itu. Ilmu engetahuan akhirnya turun berpartisipasi aktif membentuk
realitas tersebut. Filsafat berusaha dengan semua bentuk pertanyaan tentang
dunia dan pemahaman manusia atasnya.oleh sebab itu kita harus melihat bagaimana
relasi timbal balik antara filsafat dan ilmu pengetahuan dalam konteks historis
perkembangannya.
Kedua,
seorang ilmuan biasnya membuat teori untuk mengkritik dan melampaui teori-teori
yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita untuk
melihat bagaimana proses perkembangan ilmu pengetahuan dalam konteks
historisnya sehingga kita memperoleh pemahaman yang umum dan dan menyeluruh
tentang proses perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.[8]
Nama suatu
ilmu pengetahuan merupakan derivasi dari objek ilmu pengetahuan yang general,
yaitu Al-Qur’an, atau objek yang spesial yaitu problem ke-qodim-an atau
kebaruan kalam. Kadang-kadang suatu nama itu merupakan ilmu pengetahuan, yaitu
kalam, dialog, debat, dan bantahan atas lawan. Oleh karena karena itu, sebuah
ilmu pengetahuan memulai eksplorasi dengan diskursus tentang seperti ini dan
mengakibatkan pemilik ilmu pengetahuan itu menguaai diskursus-pembicaraan
(kalam). Kadang-kadang yang dinamaan ilmu pengetahuan adalah kalam, yaitu suatu
diskursus yang paling valid karena berpegang pada irman Allah di dalam
argumen-argumen transferensial yang berpengaruh pada hati. Maka sebutan kalam
adalah kuat, yakni berpengaruh. Nama ini merupakan nama dominan yang terdapat
di dalam buku-buku aqidah mutakhir dan eksiklopedi-ensiklopedi intelektual
religius.[9]
Dalam sebuah
riwayat Rasulullah bahkan mengajarkan kepada kita agar tidak segan-segan
mengambil hikmah atau kebenaran dari siapa pun walaupun kebenaran itu keluar
dari mulut seorang habsy yang kepalanya kelimis seperti buah anggur. Ucapan
Rasululloh tersebut mengandug makna yang sangat mendalam, utamanya memberikan
nilai yang tinggi pada ilmu pengetahuan dan kebenaran, betapapun dan
siapapun sumbernya.[10]
Disiplin ilmu
keislaman murni yang paling responsif terhadap tuntutan epistimologi adalah fiqh.
Dibidang disiplin ilmu tafsir, hadits, tauhid, ahlak dan tasawuf
misalnya, fiqh melalui usul al-fiqh adalah yang paling kaya
epistimologi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam meng-istinbat hukum
seperti qyas, mashalah mursalah, istihsan, istishab, dan sebagainya,
cukup efektif dalam mengembangkan hukum islam, bahkan juga sangat kondusip
dalam mengembangkan pemikiran yang lebih luas lagi.[11]
Di dalam
filsafat pengetahuan, semuanya tergantung pada titik tolaknya. Sedangkan
landasan epistimologis ilmu disebut metode ilmiah; yait cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.[12]
D.
Pendidikan Islam
Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik,
yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. Manusia
ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan
misi kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu menyempurnakan akhlaq yang mulia.
Agama islam
adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai
aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya
ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk
melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh
bekal kehidupan yang baik dan terarah.
Adapun yang
dimaksud dengan pendidikan Islam sangat beragam, hal ini terlihat dari definisi
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan berikut ini:
Prof.Dr. Omar
Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam sebagai proses
mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai
profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979:
399)
Pengertian
tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada
pendidikan etika. Selain itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek
produktivitas dan kreatifitas manusia dalam peran dan profesinya dalam
kehidupan masyarakat dan alam semesta.
Dr. Muhammad
SA Ibrahimy (Bangladesh) mengemukakan pengertian pendidikan islam sebagi
berikut;
Islamic
education in true sense of the term, is a system of education which enables a
man to lead his life according to the islamic ideology, so that he may easily
mould his life in according with tenent of islam.
Pendidikan
dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang
memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita
islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran
islam.
Pengertian
itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan
prinsip-prinsip islami yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga
manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan
perkembangan iptek.
Dr. Muhammad
Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan,
maupun perbuatan.
Definisi
tersebut memiliki prinsip pendidikan islam
pendidikan
merupakan proses perbantuan pencapaian tingkat keimanan dan berilmu (QS.
Al-Mujadilah 58:11)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Ilmu
pendiikan Islam atau Tarbiyatul Islamiyah tidaklah sama dengan tafsir tarbawy
atau Hadis Tarbawy yang fokus kajian keduanya lebih pada kajian atas ayat atau
hadis tentang kependidikan yang belum mengungkap secara ilmiah bangunan ilmu
kependidikan itu sendiri.[13]
Pendidikan
islam merupakan aktivitas internalisai dan sosialisasi nilai secara akademis,
“idiologis”, dan terlembagakan dalam dialektika sosial-kultural, sedangkan
secara teoritis, ia merupakan konseptualisasi kependidikan atas segala apa
dianggap bernilai oleh komunitas pendukung. Sementara itu, secara epistimologis
persoalan utama dalam pendidikan Islam berkaitan dengan tindakan kognitif dalam
proses kultural, yaitu tindakan iktisab al-ma’rifah (pemerolehan
pengetahuan) dan intaj al-ma’rifat (produksi pengetahuan). Dalam spektrum
yang lebih luas, dengan ditopang oleh berbagai faktor determinan historis yang
ada, permasalahan ini kemudian melahirkan epistemic sovereignty (kedaulatan
epistemik) yang menganyam relasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, yakni
relasi antar nalar budaya dan ortodoksi pemikiran keislaman.[14]
E.
Pengaruh Hellenistik Terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Imperium Romawi dimulai tahun 275 SM (SM), pada saat itu Yunani masih dalam
kejayaannya. Kejayaan Romawi dimulai tahun 27 SM sampai tahun 476 M. Hingga
tahun 250 SM Romawi belum terpengaruh kebudayaan Yunani. Hellenisme masuk ke
Romawi sedikit demi sedikit antara tahun 250 SM sampai tahun 146 SM saat
Macedonia jatuh ke tangan Romawi. Kebudayaan Romawi yang terpengaruh kebudayaan
Yunani disebut kebudayaan Graeco-Roman, sistem pendidikannya seperti sistem
pendidikan di Yunani. Ketika Imperium Romawi berangsur-angsur surut, ibu
kotanya dipindahkan ke Bizantium di semenanjung balkan (Romawi Timur), Romawi
Barat kemudian dikuasai oleh pemuka gereja kristen. Mulai saat itu jaman di
Eropa dinamai jaman kegelapan yang merupakan permlaan dari jaman pertengahan (middle
ages). Jaman pertengahan dibagi dalam tiga masa didahului oleh jaman
kegelapan. Dalam jaman kegelapan ilmu pengetahuan tidak bertambah baik, semua
ilmu harus menuruti kemauan pemuka gereja. Ilmu pengetahuan dan para ahli
dicurigai oleh pihak gereja sebagai telah melakukan bid’ah. Universitas yang
telah ada pada zaman ini adalah Universitas Bologna yang didirikan pada tahun
1088 dengan jurusan hukum, kemudian dibuka jurusan kedokteran dan liberal
arts pada abad ke-13, jurusan matematik pada abad ke- 14. Di jaman
pertengahan liberal arts, yang dibagi menjadi trivium yaitu ilmu
bahasa (grammar), ilmu retorika dan ilmu logika, dan quadrivium yaitu
ilmu hitung, geometri, musik dan astronomi. Universitas Bologna adalah
universitas di Eropa Selatan, universitas lain di Eropa Utara
Begitu kuatnya pengaruh peradaban Yunani-Romawi terhadap peradaban Islam
sampai timbul asumsi bahwa peradaban Islam hanya copy dan ‘kelahiran
kembali’ peradaban Yunani-Romawi tapi plus kepercayaan pada keesaan Tuhan
(Tauhid).
Ziya Gokalp misalnya berpendapat bahwa melalui terjemahaan karya-karya pemikir
Yunani Kuno, bangsa Arab Muslim menyerap pengetahuan seni, filsafat,
matematika, logika, kedokteran dan lain-lain. Pengaaruh Yunani itu nampak
misalnya dalam skisma intelektual yang terjadi di dunia Islam. Pars pengikut
aliran peripetik adalah para pengikut ajaran Aristoteles sedangkan pengikut
aliran iluminasionis merupakan pengikut Plato. Kaum Mutakallimun (teolog)
dipengaruhi ajaran filsafat atomistik Demokritus dan Epikuros sedangkan kaum
Mistikus dipengaruhi Neo-Platonisme yang dikembangkan di Alexandria oleh
Plotinus. Ada juga pengikut Phytagoras dan Zeno di dunia Islam, yaitu kaum Riwakiyyun
(Stoik). Ibnu al-Arabi, tokoh mistikus Islam Andalusia, sangat dipengaruhi
oleh Plato. Karya Ibnu al Arabi, Akhlaq-i Nasiri, Akhlaq-i Jalali dan Akhlaq-i
Ala’i, menurut Gokalp, pada dasarnya hanyalah copy dari pemikiran
Aristoteles.
Pandangan Gokalp tentu saja layak dipertanyakan. Ada kesan ia ‘mendramatisasi’
pengaruh peradaban Yunani-Romawi terhadap peradaban Islam. Meskipun demikian,
patut diakui bahwa pandangan Gokalp mengandung kebenaran. Adanya pengaruh
Yunani-Romawi terhadap pemikiran Islam ini penting dikemukakan karena
kontribusi warisan intelektual Islam yang diadopsi Barat terjadi justru melalui
karya-karya pemikir Islam yang menerima pengaruh peradaban Yunani-Romawi itu.
Hanya saja persoalannya adalah: bagaimana sikap kaum muslimmin menerimaa
warisan intelektual Yunani itu. Apakah dengan menerima pengaruh itu, islam
kemudian mengalami hellenisasi? Dan, apakah warisan Yunani-Romawi itu diterima
begitu saja, ataukah diterima setelah melalui pergaulan intelektual yang
panjang dan disaring oleh kritisisme serta filter intelektual yang andal?
Bagi para pemikir Islam klasik, bukanlah suatu kekeliruan menerima warisan
intelektual dari mana pun datangnya, termasuk yang berasal dari Yunani-Romawi
itu. Bahkan, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, umat Islam tidak alergis
terhadap peradaban Mesopotamia, Bizantium, Persia, Hindu dan Cina. Kunci
memahaminya karena pada hakikatnya Islam adalah agama inklusif, bersikap
terbuka dan toleran terhadap berbagai pengaruh peradaban ‘asing’ sejauh tidak
bertentangan dengan prinsip ketuhanan (tauhid) dan mampu memperkaya tradisi
keilmuan Islam. Watak inilah yang membuat Islam memiliki self
confident (percaya diri) yang tinggi dan bebas dari inferiority complex (rasa
rendah diri) berhadapan dan berinteraksi dengan peradaban-peradaban dunia.[15]
Al-kindi
adalah ahli filsafat yang pertama kali muncul di dunia islam. Sebagai pegawai
kelas atas dan sebagai penasehat keluarga Khalifah. Ia menulis berbagai macam
topik, kebanyakan diantaranya tentang matematika, astronomi, astrologi, kimia,
metalurgi, dan tafsir mimpi. Tetapi, sebagai seorang pemikir, pernyataan utama
yang membuatnya terkenal adalah seperti pendahulunya dalam islam yang
mempertanyakan kembali hubungan antara pemikiran yunani, terutama pemikiran
filsafat Aristoteles dengan wahyu al-Qur’an yang menggambarkan tentang
pengembangan dan penyebaran pengetahuan.[16]
F.
Pengaruh Hellenistik Terhadap Perkembangan Pendidikan
Islam
Pendidikan islam di masa klasik dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah
mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan penerjemahan
karya-karya pemikiran yunani,pendidikan islam mengalami kemajuan pesat baik
dalam materi pengajarannya(kurikulum)maupun lembaga pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan pengetahuan agama,
mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti: matematika, filsafat, dan
kedokteran. Misalnya di kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan
tingkat dasar, pada abad pertama masa islam hanya mengajarkan pelajaran membaca
dan menulis, kemudian diajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak abad ke-8 M,
Kuttab mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan disamping ilmu agama.
Sistem pendidikan di masa klasik tidak dikenal sekolah tingkat menengah yang
ada hanya lembaga pendidikan tingkat dasar dan lembaga pendidikan tingkat
tinggi.
Menurut Mahmud Yunus, kurikulum sekolah tingkat tinggi dibagi menjadi dua,
yaitu: ilmu-ilmu naqliyah (ilmu yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadits)
dan ilmu-ilmu aqliyah (ilmu yang bersumber pada akal). Ilmu-ilmu naqliyah
meliputi tafsir, al-Qur'an, hadits, fikih, usul fikih, nahwu/sharaf, balaghah,
dan bahasa arab serta kesustraan arab. Sedangkan ilmu-ilmu aqliyah meliputi
mantiq/logika, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu pasti, ilmu ukur/matematik,
falak (astronomi), ilmu kalam, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
kedokteran.
Setelah menguasai karya-karya hellenisme, ilmuwan-ilmuwan islam mengadakan
pengamatan, penelitian, dan pengkajian lebih jauh sehingga mereka berhasil
menemukan teori-teori baru di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Pemikiran
hellenisme yang mereka transmisikan dalam karya-karya pemikiran islam bukanlah
sekedar terjemahan atau jiplakan, tetapi merupakan karya asli umat islam.
Wacana intelektual islam mengalami kemajuan pesat. Kontak dengan hellenisme
bukan hanya mempengaruhi lahirnya berbagai wacana di bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat islam,tetapi juga pemikiran-pemikiran keagamaan, seperti teologi,
tafsir, bahasa, hukum islam dan sebagainya. Masa klasik islam adalah periode
kejayaan dan keemasan peradaban islam
Disamping kurikulum yang berkembang sebagai akibat pengaruh peradaban yunani,
lembaga pendidikanpun mengalami perkembangan dengan pesat. Lembaga-lembaga
pendidikan islam seperti: kuttab, mesjid, halaqah, dan majlis mengajarkan
materi pelajaran yang berkaitan dengan keagamaan. Pada perkembangan berikutnya,
diajarkan materi pelajaran tentang ilmu pengetahuan dan filsafat. Akibatnya,
lembaga-lembaga pendidikan islam mengalami perubahan karakteristik, bahkan
munculnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan baru, serta menyebabkan terjadinya
dualisme lembaga pendidikan islam, yaitu:
1. Lembaga
pendidikan islam yang terbuka pada pengetahuan umum.
2. Lembaga
pendidikan islam yang tertutup terhadap pengetahuan umum.
Sebagaimana
telah diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran Aristoteles
dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan
itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa
sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang
mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit
sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini menyebabkan
sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh
kepada falsafah Islam itu, karena memang terkait satu sama lainnya.
Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini ialah populernya ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai sekarang masih ada dari kalangan 'ulama' kita yang menulis tentang mantiq, seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang, dan ilmu mantiq masih diajarkan di beberapa pesantren. Memang telah tampil beberapa 'ulama' di masa lalu yang mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah dengan kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan kitabnya, Shawn al-Mantiq wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun, meski telah berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya, adalah seorang pembela ilmu mantiq yang gigih, dengan kitab-kitabnya seperti Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-Nadhar. Bahkan kitabnya, al-Qisthas al-Mustaqim, dinilai dan dituduh Ibn Taymiyyah sebagai usaha pencampur-adukan tak sah ajaran Nabi dengan falsafah Aristoteles, karena uraian-uraian keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan sistem ilmu mantiq.
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William Lane Craig, the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past events could be actually infinite. (argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).
Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).
Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini ialah populernya ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai sekarang masih ada dari kalangan 'ulama' kita yang menulis tentang mantiq, seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang, dan ilmu mantiq masih diajarkan di beberapa pesantren. Memang telah tampil beberapa 'ulama' di masa lalu yang mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah dengan kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan kitabnya, Shawn al-Mantiq wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun, meski telah berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya, adalah seorang pembela ilmu mantiq yang gigih, dengan kitab-kitabnya seperti Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-Nadhar. Bahkan kitabnya, al-Qisthas al-Mustaqim, dinilai dan dituduh Ibn Taymiyyah sebagai usaha pencampur-adukan tak sah ajaran Nabi dengan falsafah Aristoteles, karena uraian-uraian keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan sistem ilmu mantiq.
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William Lane Craig, the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past events could be actually infinite. (argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat
hellenistik adalah periode dalam filsafat Barat yang berkembang pada masa Plato
hingga masa Neoplatonisme. Adapun filsafat yang berkembang pada periode itu
adalah sebagai berikut.
1. Platonisme.
Filsafat ini merupakan pemikiran yang dikembangkan oleh filsuf Plato dan
murid-muridnya.
2. Peripatetisisme.
Filsafat ini adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Aristoteles. Konsep
intinya adalah semangat untuk mencari kebenaran dengan penelitian pada fenomena
yang di dunia ini dengan tujuan untuk memahami fondasi pengetahuan tentang
fenomena itu.
3. Sinisme.
Filsafat ini adalah suatu ajaran hidup dengan tokohnya, filsuf Diogenes.
Inti ajarannya adalah penolakan terhadap kemewahan, kekuasaan, popularitas
duniawi, dan membebaskan ddiri dari kepemilikan.
4. Cyrenaisisme.
Filsafat ini adalah ajaran hidup yang bersifat ultrahedonisme dengan filsuf
Aristippus dari Cyrene. Inti ajarannya adalah kenikmatan sebagai hal yang
paling penting dan utama untuk dikejar dan diperjuangkan.
5. Epikureanisme.
Filsafat adalah modifikasi dari Cyrenaisisme dengan Hedonisme yang dipahami
sebagai penghilang rasa sakit dengan kenikmatan yang diperoleh dari jalan
kesederhanaan dalam hidup di dalam lingkungan teman-teman yang memiliki
idealisme yang sama.
B.
Kritik dan
Saran
Apabila dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat kekeliruan, maupun terdapat kata-kata yang
kurang jelas mohon diberikan masukan kepada saya selaku pembuat makalah agar
dapaat membenahi kembali makalah yang telah saya buat, sehingga nantinya akan
menjadi makalah yang benar dan bermanfaat untuk halayak.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam
Transformatif, Yogyakarta: PT. LkiS Aksara
Yogyakarta, 2008.
Darmodiharjo,Darji. Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Fletcher, Richard, Realisasi Damai Islam
dan Kristen, Ciputat Maz Plaza: Pustaka Alpabet, 2009.
Hadiwijono, Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. KANISIUS, 2010.
Hanafi, Hasan, Islamologi 1 Dari
Teologi Statis ke Anarki, Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara Yogyakarta, 2004.
Keraf, Sonny, Ilmu Pengetahuan
Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: KANNISUS, 2001.
Qomar, Mujamil, Epistemologi
Pendidikan Islamdari Metode Rrasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan
Islam, Yogyakarta: PT. LkiS Printing
Cemerlang,2009.
Suhar, Filsafat Umum, Jakarta:
Gedung Persada Press, 2009.
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran
Politik Barat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
suhendi, Hendi. 2008.
Filsafat Umum. Bandung. Pustaka Setia.
Suriasumantri, Jujun S, filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.
Tasmara, Toto, Menuju Muslim Kaffah Menggali
Potensi Diri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Wattimene, Reza A.A, Filsafat dan Sains
Sebuah Pengantar Jakarta: Grasindo.
Yuana, Kumara ari, The
Greatest Philosopher. Yogyakarta. ANDI, 2010.
[4]Darji Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta:
Grameia Pustaka Utama, 2006) cet. Ke-6, hal. 64-65
[7]A. Sonny Keraf
Mikhael Dua, Ilmu
Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: KANNISUS, 2001) hal.
22.
[8]Reza A.A Wattimene, Filsafat dan Sains
Sebuah Pengantar (Jakarta: Grasindo) hal. 117.
[9]Hasan Hanafi, Islamologi 1 Dari
Teologi Statis ke Anarki (Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara Yogyakarta, 2004) hal. 2.
[10]Drs. H. Toto
Tasmara, Menuju
Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hal.
368.
[11]Jujun S.
Suriasumantri, filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990) hal.
105.
[12]Prof. Dr. Mujamil
Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islamdari Metode Rrasional Hingga Metode Kritik (Jakarta:
Erlangga) hal. 11.
[13]Dr. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing
Cemerlang,2009) cet. 1. Hal 15.
[14] Dr. Mahmud Arif, Pendidikan Islam
Transformatif, (Yogyakarta: PT. LkiS Aksara
Yogyakarta, 2008) cet. 1. Hal 4.
[16]Richard Fletcher, Realisasi Damai Islam
dan Kristen (Ciputat Maz Plaza: Pustaka Alpabet, 2009) cet. 2. hal. 63.
0 Response to "Resume Filsafat Umum (Pengaruh Hellenistik Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Pendidikan Islam)"
Post a Comment